Biaya lisensi atau royalti untuk kurikulum.
Biaya buku pelajaran impor dan materi ajar lain yang harganya jauh lebih mahal.
Gaji guru yang harus bersertifikasi internasional.
Investasi fasilitas yang harus memenuhi standar global.
Konsekuensinya, sekolah-sekolah yang mengadopsi kurikulum ini umumnya menetapkan biaya pendidikan yang sangat mahal. Ini membuat pendidikan berkualitas tinggi menjadi eksklusif dan hanya bisa diakses oleh segelintir orang dari kalangan ekonomi atas. Dampaknya, muncul kesenjangan sosial yang lebar dalam dunia pendidikan. Pendidikan berkualitas yang seharusnya menjadi hak semua orang, kini menjadi komoditas mahal yang hanya bisa dibeli.
Kurikulum yang Tidak Selalu Relevan dengan Sistem Nasional
Meski kurikulum internasional dirancang untuk mempersiapkan siswa kuliah di luar negeri, mereka tidak selalu sepenuhnya relevan dengan sistem pendidikan nasional. Kurikulum ini memiliki metode penilaian, standar kelulusan, dan mata pelajaran yang berbeda dari kurikulum nasional. Ketika siswa pindah dari sekolah internasional ke sekolah nasional, atau sebaliknya, seringkali mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri.
Siswa yang lulus dari sekolah dengan kurikulum internasional juga mungkin menghadapi tantangan ketika ingin melanjutkan pendidikan tinggi di dalam negeri. Beberapa universitas di Indonesia mungkin belum sepenuhnya mengakui atau menyetarakan nilai-nilai dari kurikulum asing. Ini bisa menjadi hambatan bagi siswa yang akhirnya memilih untuk kuliah di Indonesia karena alasan finansial atau keluarga.
Beban Akademik dan Psikologis pada Siswa
Kurikulum internasional, terutama yang berbasis ujian, seringkali sangat menuntut secara akademik. Siswa diharapkan untuk menguasai materi yang luas dan mendalam, serta memiliki keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kreatif. Tekanan untuk berprestasi tinggi dalam ujian internasional bisa sangat membebani. Hal ini, jika tidak diimbangi dengan dukungan psikologis yang memadai, bisa berujung pada stres, kecemasan, dan bahkan burnout pada siswa.