Tampang

Sejarah Peradilan Jawa Kuna: Sistem Hukum dan Peran Raja yang Adil

1 Jun 2025 10:02 wib. 39
0 0
Candi Jabung peninggalan majapahit yang berdiri di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo. (kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Sumber foto: Google

Menurut Titi, mulai masa Kerajaan Kadiri (1045-1222) hingga Majapahit (1293-1527), pejabat kehakiman dibagi menjadi dua kelompok: “dharmmadhyaksa ring kasaiwan” (pemimpin keagamaan/ketua pengadilan dari golongan agama Siwa) dan “dharmmadhyaksa ring kasogatan” (pemimpin keagamaan/ketua pengadilan dari golongan agama Buddha). Kelompok kedua adalah pejabat kehakiman yang disebut dharmma upapatti, dengan jumlah yang tidak menentu dalam beberapa prasasti, namun secara keseluruhan berjumlah sembilan orang.

Raja Harus Belajar Hukum dan Tidak Memihak Titi menuturkan, prasasti i Bendosari dan Parung yang ditulis pada masa Majapahit menyebutkan bahwa para pejabat kehakiman tidak bisa langsung memutus suatu perkara. Sebelum memangku kewenangan itu, mereka harus mempelajari kitab-kitab sastra dari India, peraturan daerah, hukum adat, pendapat tetua, serta kitab-kitab hukum sebagaimana para pendahulunya.

Tidak hanya itu, dalam kitab hukum Kerajaan Majapahit, kakawin Negarakertagama pupuh 73:1 disebutkan, Raja Hayam Wuruk berusaha keras menjadi raja yang bijaksana agar rakyatnya bisa sejahtera. Menurut Titi, dalam kitab itu disebutkan, ketika melaksanakan fungsi peradilan raja tidak boleh sembarangan melainkan harus mengikuti aturan dalam kitab perundang-undangan Agama. Kutipan Negarakertagama berbunyi: “Raja Wilwatikta di dalam istana makin tekun dalam aktivitasnya, di pengadilan tidak memihak dan sangat hati-hati, semua aturan Agama diikuti, tidak memihak karena diberi kekayaan, adil kepada semua orang, perbuatan baik diupayakan untuk mengetahui masa yang akan datang dan sebagainya, sesungguhnya beliau penjelmaan dewa.”

Peristiwa Hukum dan Hukuman yang Diterapkan Titi menuturkan, salah satu contoh peristiwa hukum pada masa Jawa Kuna adalah perkara sengketa utang penduduk Desa Guntur, Campa, yang terukir dalam prasasti Guntur (907 Masehi) era Mataram Kuna. Prasasti itu menyebutkan, seorang pria bernama Sang Dharmma menagih utang Campa yang telah meninggal dunia kepada suaminya, Pu Tabwel. Dalam prasasti Guntur dijelaskan, Sang Dharmma merupakan saudara dari Campa, sementara Pu Tabwel dan Campa tidak memiliki anak. “Si Campa meninggal, ditagihlah Pu Tabwel oleh Sang Dharmma,” tulis prasasti tersebut. Perkara piutang ini akhirnya dibawa ke pengadilan dan diadili oleh Samgat Pinapan Pa Guwul dan istrinya yang bernama Pu Gallam. Perkara kemudian diputus dengan kekalahan Sang Dharmma karena ia tidak datang ke pengadilan. “Bahwa tidak ada kejadian utang [sang istri] jatuh ke suami jika [utang] itu tanpa sepengetahuan suami, apalagi alasannya tidak mempunyai anak,” tulis prasasti tersebut.

#HOT

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

Atlet Olimpiade
0 Suka, 0 Komentar, 5 Jul 2024

POLLING

Dampak PPN 12% ke Rakyat, Positif atau Negatif?