Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali menghantam dunia kerja, termasuk Indonesia, dan kini datang dengan intensitas yang kian mengkhawatirkan. Sejak pandemi Covid-19 mengubah wajah perekonomian global, berbagai sektor belum benar-benar pulih. Kini, di awal 2025, bayang-bayang PHK semakin nyata dengan jutaan tenaga kerja yang terancam kehilangan penghasilan mereka.
Salah satu sektor paling terpukul adalah industri tekstil dan produk tekstil, yang selama ini dikenal sebagai salah satu tulang punggung perekonomian manufaktur Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 3 juta pekerja di industri ini berada dalam posisi rentan, menyusul penurunan utilitas dan produksi. Tak berhenti di situ, sekitar 70% pelaku usaha perhotelan dan restoran di Jakarta juga mempertimbangkan PHK massal sebagai langkah bertahan hidup di tengah kondisi yang tidak menentu.
Daya Beli Lemah, Produksi Menurun
Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menjelaskan bahwa krisis ini dipicu oleh dua faktor utama: melemahnya daya beli masyarakat dan penurunan permintaan terhadap produk manufaktur. Dua aspek ini menjadi kombinasi yang cukup fatal bagi keberlangsungan industri.
"Permintaan terhadap barang-barang hasil manufaktur menurun drastis, dan hal ini langsung berdampak pada pengurangan skala produksi," ujar Nailul dalam wawancara bersama CNBC Indonesia.
Bukti empirisnya terlihat dari data Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia yang dikutip dari S&P. Pada Maret 2025, PMI Indonesia sempat berada di zona ekspansi dengan angka 52,4. Namun, angka ini anjlok ke 46,7 pada April dan sedikit naik ke 47,4 pada Mei. Perlu diketahui, angka di bawah 50 menandakan bahwa sektor manufaktur tengah mengalami kontraksi.