Salah satu aspek esensial yang dibahas adalah matriks aksi dalam RAN, yang mencakup tujuan, indikator, lokasi prioritas, dan penanggung jawab pelaksana. Melalui berbagai sesi, para ahli dari BRIN dan Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar diundang untuk memberikan pemaparan yang mendalam mengenai masalah-masalah yang dihadapi, serta potensi solusi yang bisa diterapkan.
Koordinator Nasional untuk Spesies Laut Dilindungi dan Terancam Punah dari Yayasan WWF Indonesia, Ranny R. Yunaeni, menekankan perlunya merancang kebijakan konservasi yang berbasis pada data dan penelitian ilmiah terkini. Ia berpendapat bahwa rencana aksi harus mengintegrasikan perlindungan habitat, penguatan kelembagaan lokal, penegakan hukum, serta pemanfaatan teknologi dalam berbagai upaya untuk mengurangi ancaman terhadap populasi penyu dan cetacea.
Dalam konteks lokal, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Ir. Putu Sumardiana, kembali menyoroti warisan budaya dan nilai luhur yang mengedepankan kehidupan harmonis dengan alam. Ia mengacu pada ajaran Sad Kerthi yang menjadi panduan masyarakat Bali dalam menjaga laut dan ekosistemnya. “Pengelolaan kawasan konservasi adalah amanah yang harus dijalankan seiring dengan berkembangnya ancaman terhadap spesies dilindungi,” ujarnya.