Selain faktor politik, konflik di Xinjiang juga terkait dengan isu ekonomi. Wilayah ini kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas. Pemerintah Tiongkok secara aktif mengembangkan wilayah ini untuk kepentingan ekonomi nasional, namun seringkali tanpa memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat lokal, terutama Muslim Uighur. Ketidakadilan ekonomi ini telah memicu ketegangan antara masyarakat lokal dan pemerintah yang dipandang sebagai agenda kolonialisasi dan eksploitasi yang memicu kemarahan.
Selain faktor politik dan ekonomi, dimensi agama juga memainkan peran penting dalam konflik ini. Pemerintah Tiongkok secara terbuka membatasi praktik keagamaan Islam di Xinjiang, dengan melarang puasa Ramadan, memaksa masyarakat untuk mengkonsumsi alkohol dan daging babi, serta menerapkan larangan terhadap pakaian dan simbol-simbol keagamaan Islam. Langkah-langkah ini dianggap sebagai tindakan represif yang merusak identitas agama dan budaya masyarakat Muslim Uighur.