Presiden Jokowi bahkan menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, yang memberikan kesempatan bagi ormas keagamaan untuk mengurus pertambangan. Namun demikian, kebijakan ini menimbulkan sejumlah masalah. Pertama, kebijakan ini tidak sesuai dengan aturan yang diatur dalam UU Minerba. Selain itu, keterlibatan ormas keagamaan yang tidak memiliki pengalaman dalam mengelola tambang menimbulkan kekhawatiran akan berdampak buruk terhadap lingkungan.
Rere Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Eknas Walhi, mengungkapkan bahwa kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah dengan mudahnya memberikan akses kekayaan alam kepada pihak yang tidak berkompeten, selain menimbulkan polemik terkait penundukan atau percampuran kepentingan antara pihak-pihak terkait.
Kasus korupsi timah yang mengorbankan lingkungan juga menjadi perhatian serius. Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa kerugian negara yang ditimbulkan mencapai angka yang mengkhawatirkan.
Ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo menaksir bahwa kerugian lingkungan mencapai Rp 271 triliun, yang berasal dari kerugian lingkungan ekologis, ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan, baik di kawasan hutan maupun di luar hutan.
Selain itu, bangkitnya kesadaran publik terhadap kerusakan lingkungan akibat pengelolaan tambang timah yang sembrono di Bangka Belitung juga tampaknya menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan hidup tidak lagi bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum semata. Penghancuran lingkungan hidup sudah harus masuk dalam kategori kejahatan ekosida atau kejahatan besar terhadap lingkungan hidup oleh korporasi yang seharusnya masuk dalam kategori pelanggaran HAM.