Pada Januari 2020, Direktur Utama Sriwijaya Air Group, Jefferson I. Jauwena, mengungkapkan bahwa total pesawat yang dimiliki oleh Sriwijaya Air Group adalah sebanyak 40 unit, terdiri dari 24 unit Sriwijaya Air dan 16 unit Nam Air. Namun, saat itu hanya 14 unit pesawat Sriwijaya Air dan 11 unit pesawat Nam Air yang dioperasikan.
Dengan penurunan jumlah armada pesawat, masalah tersangka pendiri Sriwijaya Air ini semakin mempersulit upaya maskapai penerbangan tersebut untuk tetap eksis dan optimal dalam operasionalnya. Alvin Lie, seorang pemerhati penerbangan, menyatakan keprihatinannya terkait penetapan Hendry Lie sebagai tersangka, yang dapat mengakibatkan maskapai tersebut sulit memenuhi komitmen dalam perjanjian PKPU.
Alvin Lie menekankan bahwa bila kesulitan dalam memenuhi komitmen tersebut terus berlanjut, Sriwijaya Air mungkin terpaksa mencabut kesepakatan PKPU, yang pada akhirnya akan membawa dampak serius bagi karyawan dan mitra kerja maskapai tersebut.
"Dengan adanya pembatalan kesepakatan tersebut (PKPU), maka Sriwijaya Air akan kembali terancam kepailitan. Tentu ini akan berat buat karyawan-karyawan dan juga mitra kerjanya," ujar Alvin Lie.
Penetapan tersangka terhadap pendiri Sriwijaya Air bukan hanya menjadi beban hukum bagi perusahaan, tetapi juga mengancam kelangsungan operasionalnya. Jika perusahaan penerbangan ini tidak segera menemukan solusi yang tepat, masalah ini berpotensi berdampak negatif yang lebih luas pada industri penerbangan nasional, sehingga perlu adanya langkah-langkah strategis yang diambil untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam era industri penerbangan yang semakin kompetitif, upaya pemulihan Sriwijaya Air menjadi semakin penting bagi pihak terkait dan juga bagi industri penerbangan Indonesia secara keseluruhan. Ilustrasi bagaimana proses pemulihan Sriwijaya Air setelah masalah hukum dan operasional yang dihadapinya menjadi salah satu aspek yang dapat dijelaskan dalam arah kebijakan dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mendukung perusahaan tersebut.