Dr. Maria Rina menilai konflik ini sebagai hasil dari ketidakcocokan antara kepentingan politik PKB dan orientasi keagamaan NU. Dia berpendapat bahwa pergeseran dalam kepemimpinan PKB, yang mengarah pada kebijakan-kebijakan yang lebih sekuler, telah menyebabkan ketegangan dengan NU yang tetap mempertahankan posisi keagamaan yang kuat. “Perbedaan ini memunculkan krisis identitas di kalangan pengikut NU yang merasa bahwa nilai-nilai mereka mungkin terabaikan dalam agenda politik PKB saat ini,” kata Dr. Maria.
3. Prof. Budi Santosa - Pakar Politik dari Universitas Gadjah Mada
Prof. Budi Santosa berpendapat bahwa ketegangan ini bisa berpotensi membelah suara basis massa NU dan memengaruhi dukungan politik di masa depan. “Konflik ini berpotensi memecah konsolidasi suara yang selama ini menjadi kekuatan PKB. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa berdampak pada efektivitas politik PKB di masa depan dan mempengaruhi keberadaan NU sebagai kekuatan sosial,” jelas Prof. Budi.
4. Dr. Rani Puspita - Peneliti Politik Sosial dari Universitas Airlangga
Menurut Dr. Rani Puspita, konflik ini juga mencerminkan pergeseran dalam cara generasi muda NU memandang politik. Generasi baru ini, yang lebih cenderung pada modernisasi dan reformasi, mungkin merasa teralienasi oleh pendekatan tradisional yang dipegang oleh beberapa elemen dalam NU. “Ada pergeseran generasional di NU yang juga mempengaruhi hubungan dengan PKB. Generasi muda NU mungkin lebih terbuka terhadap perubahan yang diprakarsai oleh PKB,” kata Dr. Rani.
5. Dr. Eko Prasetyo - Konsultan Politik Independen
Dr. Eko Prasetyo melihat konflik ini sebagai peluang bagi PKB untuk melakukan introspeksi dan memperbaiki hubungan dengan NU. “Ini adalah waktu yang tepat bagi PKB untuk melakukan evaluasi diri dan mencari jalan tengah yang bisa memuaskan kedua belah pihak. Mengelola konflik ini dengan bijak bisa memperkuat posisi PKB dan memastikan dukungan dari NU tetap solid,” ujarnya.