Arifin juga menyoroti masalah penetapan harga yang dihadapi KKKS ketika memilih skema Gross Split. Ketika KKKS menetapkan anggaran sendiri, mereka kemudian menghadapi eskalasi harga barang. Situasi ini dapat menjadi hambatan dalam proses produksi.
"Mereka menunggu sampai harga barang turun lagi. Namun, harga barang bisa naik atau turun. Jadi jika harga tidak turun-turun, maka pekerjaan tidak akan dilakukan. Hal ini akan menjadi hambatan dalam proses produksi," jelas Arifin.
Perubahan skema Gross Split juga telah dilakukan melalui Peraturan Menteri (Permen) yang menyederhanakan komponen variabel, dari sebelumnya sepuluh menjadi hanya tiga. Selain itu, komponen progresif juga disederhanakan, dari tiga komponen menjadi hanya dua. KKKS juga diberikan tambahan split yang lebih menarik hingga mencapai 95 persen, termasuk untuk Migas Non Konvensional.
"Peraturan Menteri ESDM tentang New Gross Split, hari ini sudah diterima dan disetujui oleh Presiden. Kami telah menerima surat dari Menko Maritim dan Investasi yang menunjukkan persetujuan tersebut," tambahnya.
Arifin juga mengakui bahwa kebijakan ini diambil sebagai antisipasi terhadap skema kebijakan migas yang lebih agresif yang diterapkan oleh negara lain seperti Guyana, Mozambik, dan Mexico."Beberapa negara menerapkan skema yang sangat sederhana, hanya menggunakan pajak dan royalti. Oleh karena itu, kami terus berupaya agar iklim investasi di Indonesia tetap menarik," ungkapnya.