Meski banyak yang kembali ke Indonesia setelah masa kontrak selesai, sebagian besar memilih menetap, menikah dengan penduduk lokal, dan membentuk komunitas yang kini terus berkembang. Pada 1996, keturunan Indonesia di Kaledonia Baru diperkirakan mencapai 5.000 jiwa atau 2,5 persen populasi setempat, mirip dengan kisah komunitas Jawa di Suriname yang juga bermula dari pekerja kontrak.
Pelestarian budaya Jawa di Kaledonia Baru mendapat perhatian khusus sejak 1950-an, ketika Pemerintah Indonesia membuka konsulat di Noumea, ibu kota wilayah tersebut. Konsulat ini menjadi pusat aktivitas budaya dan sosial, seperti pertunjukan seni tradisional dan kegiatan gotong royong. Organisasi seperti Persatuan Masyarakat Indonesia dan Keturunannya (PMIK) juga turut memperkuat ikatan komunitas.
Peringatan 100 tahun kedatangan orang Jawa pertama pada 1996 menjadi momen penting untuk mengenang perjuangan leluhur. Marie-Jo Siban, pendiri Association Indonesienne de Nouvelle-Caledonie, menyebut perayaan itu sebagai penghormatan atas “keberanian, pengorbanan, dan ketekunan” para pendahulu mereka. Berbagai buku dan dokumentasi sejarah juga terus diproduksi, termasuk karya Fidayanti Muljono-Larue dan upaya Marcel Magi mendirikan organisasi Asal Usul untuk menghidupkan kembali warisan budaya.