Statistik resmi menunjukkan bahwa tingkat kelahiran di Jepang berada dalam tren penurunan drastis selama bertahun-tahun. Pada 2023, angka kelahiran nasional mencapai titik terendah dalam sejarah, yakni 1,20 anak per wanita. Bahkan di Tokyo, angka tersebut tercatat di bawah satu, yang berarti rata-rata wanita tidak cukup melahirkan untuk menggantikan dirinya sendiri dalam populasi.
Penurunan angka kelahiran ini disebabkan oleh sejumlah faktor sosial dan budaya yang kompleks. Salah satunya adalah kecenderungan menurunnya jumlah pernikahan serta meningkatnya jumlah penduduk yang memilih hidup melajang. Gaya hidup modern yang menuntut karier, tekanan ekonomi, hingga biaya membesarkan anak yang tinggi menjadi alasan utama banyak orang Jepang enggan menikah atau memiliki anak.
Data terbaru dari Kementerian Kesehatan Jepang menunjukkan bahwa selama enam bulan pertama tahun 2024, jumlah kelahiran turun ke titik terendah sejak tahun 1969. Dari Januari hingga Juni, tercatat hanya 350.074 kelahiran, atau turun 5,7 persen dibandingkan periode yang sama pada 2023. Penurunan ini melanjutkan tren sebelumnya, di mana pada 2023, jumlah kelahiran juga turun 3,6 persen dari tahun sebelumnya.
Angka-angka ini menjadi bukti nyata bahwa upaya pemerintah Jepang selama ini belum cukup untuk membalikkan tren negatif tersebut. Meski telah mengupayakan berbagai program yang disebut sebagai “langkah-langkah luar biasa untuk melawan penurunan kelahiran”, hasilnya masih jauh dari harapan.
Pemerintah Jepang telah mencoba berbagai inisiatif, mulai dari pemberian tunjangan anak, insentif pernikahan, perpanjangan cuti melahirkan, hingga program subsidi tempat tinggal bagi pasangan muda. Namun sayangnya, dampak dari kebijakan tersebut belum mampu membendung laju penurunan populasi.