Herik lebih lanjut menyatakan keprihatinannya bahwa RUU Penyiaran dapat disalahgunakan sebagai alat politik oleh pihak tertentu untuk meredam karya jurnalistik profesional dan berkualitas. Selain itu, ia juga menyoroti pasal-pasal lain yang mengatur mengenai isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
Menurut Herik, pasal-pasal tersebut dapat memiliki tafsir yang multitafsir, terutama yang berkaitan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik. IJTI menegaskan bahwa pasal yang multitafsir dan membingungkan tersebut berpotensi menjadi alat untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers.
Herik menjelaskan bahwa pers memiliki peran penting sebagai kontrol sosial dalam menjaga agar proses bernegara berjalan dengan transparan, akuntabel, dan memenuhi hak-hak publik. Oleh karena itu, IJTI turut mempermasalahkan ketentuan yang menyerahkan penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik penyiaran kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sedangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers.