"Tersangka S juga bertanggung jawab dalam mencari bakat serta terlibat dalam adegan asusila dengan anak di bawah umur, merekamnya, dan menyebarkannya melalui media sosial grup Telegram dengan nama Acilsunda. Tersangka menetapkan harga jual sebesar Rp300.000," ungkap Dani.
Dani juga membeberkan bahwa tersangka tersebut menawarkan dan berjanji akan memberikan telepon genggam kepada korban anak di bawah umur, namun kenyataannya memberikan uang sebesar Rp200.000. Sementara SHP, yang merupakan anak berkonflik dengan hukum, berasal dari Kecamatan Matraman, Jakarta Timur.
"ABH ini terlibat dalam mencari bakat anak di bawah umur di lingkungan pertemanannya untuk ditawarkan dalam membuat konten video asusila bersama dengan tersangka inisial S alias Acil Sunda, dengan janji akan mendapatkan bagian dari hasil penjualan video," papar Dani.
Kedua tersangka MS, S, dan SHP dijerat dengan Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 52 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, yang mengancam hukuman penjara selama 20 tahun.
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Wakil Direktur Tindak Pidana Siber, kasus penjualan konten asusila anak melalui grup Telegram ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan terkait penyebaran konten pornografi dan eksploitasi anak di era digital. Langkah tegas dari Bareskrim Polri dalam menangani kasus-kasus seperti ini sangatlah diapresiasi oleh masyarakat. Hal ini menegaskan komitmen Polri dalam memberantas kejahatan cyber dan melindungi anak-anak dari ancaman yang berkaitan dengan konten asusila di dunia maya.