Corina Allen, kepala ahli geologi bahaya di Washington Geological Survey, menyebutkan bahwa tidak ada fasilitas seperti jembatan, gedung, rumah sakit, dan sekolah yang berada di wilayah yang berpotensi terkena tsunami yang dapat bertahan dari gempa bumi dan tsunami setelahnya. Kekhawatiran juga dinyatakan oleh Yumei Wang, penasihat senior infrastruktur dan risiko di Portland State University, yang mengungkapkan bahwa langkah-langkah perlindungan yang diperlukan untuk masyarakat belum dilakukan secara optimal.
Dalam konteks ini, bangunan yang terbuat dari batu bata dan pasangan bata dianggap paling rentan terhadap gempa bumi, sementara bangunan berbingkai kayu sangat rentan terhadap kekuatan tsunami. Kurun waktu sejarah geologi wilayah tersebut menunjukkan bahwa rata-rata gempa besar dan tsunami terjadi setiap 500 tahun. Meskipun tidak ada cara pasti untuk memprediksi kapan ancaman ini akan terjadi, estimasi mengindikasikan bahwa kemungkinan peristiwa tersebut akan terjadi dalam 200 tahun mendatang atau bahkan lebih cepat.
Dalam upaya mempersiapkan diri menghadapi ancaman tersebut, diperlukan investasi yang besar dan waktu yang cukup panjang. Melgar optimis bahwa usaha ini tidak akan sia-sia. Namun demikian, tantangan sebenarnya terletak pada kesediaan masyarakat untuk menginvestasikan miliaran dolar untuk mempersiapkan sesuatu yang mungkin tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Kendati demikian, para pakar peletakan infrastruktur dan evakuasi vertikal di zona tsunami menjadi sangat penting sebagai upaya penyelamatan bagi masyarakat. Sekali lagi, hal ini menekankan perlunya kewaspadaan akan ancaman yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.