Seiring dengan meningkatnya ketegangan perdagangan global yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, label "Made in Saudi Arabia" semakin mencuri perhatian. Terutama setelah pengenaan tarif yang lebih tinggi pada produk impor dari Tiongkok, negara-negara lain di Asia juga terimbas dampaknya. Dalam konteks ini, gagasan untuk menjadikan Arab Saudi sebagai basis manufaktur alternatif mulai mendapat momentum.
Sejarawan dan penulis buku "Saudi, Inc.", Ellen Wald, menyatakan dalam wawancaranya dengan media Middle East Eye bahwa Arab Saudi harus segera mengirimkan delegasi perdagangan ke AS. Tujuan utamanya adalah untuk memahami produk-produk yang sebelumnya dipasok oleh Cina dan untuk menyuarakan keinginan mereka agar produk-produk tersebut dapat diproduksi di dalam negeri.
Selama ini, beberapa negara seperti Cina, Vietnam, dan Thailand telah berfungsi sebagai pusat manufaktur bagi perusahaan-perusahaan besar dunia seperti Apple dan Adidas. Namun, setelah diberlakukannya tarif impor yang lebih tinggi sejak April lalu, banyak perusahaan berusaha untuk mengalihkan lini produksi mereka ke negara-negara dengan tarif yang lebih rendah. Inilah sebabnya, Vietnam dan Thailand kini semakin didorong sebagai destinasi investasi.
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) tengah berupaya untuk menciptakan pusat industri baru sebagai bagian dari langkah diversifikasi ekonomi. UEA, melalui program Operation 300bn, menargetkan kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional mencapai 300 miliar dirham per tahun, yang setara dengan sekitar Rp1.200 triliun. Sementara itu, Saudi memiliki visi jangka panjang, yaitu Vision 2030, yang mendorong pertumbuhan sektor industri dan manufaktur lokal.