Salah satu sorotan utama dari laporan ini adalah kesenjangan besar dalam kapasitas negara-negara Asia-Pasifik untuk mengatasi perubahan iklim. Sebagian negara sudah mulai melangkah lebih jauh dengan mengakses pendanaan iklim dan mengimplementasikan kebijakan yang ramah lingkungan. Namun, sebagian besar lainnya masih bergulat dengan berbagai hambatan, seperti keterbatasan ruang fiskal, lemahnya sistem keuangan, serta rendahnya kemampuan dalam pengelolaan keuangan publik.
Ketidakseimbangan ini memunculkan risiko bahwa negara-negara dengan kapasitas terbatas akan tertinggal semakin jauh, baik dari sisi ekonomi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim. Padahal, kawasan Asia-Pasifik memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor dalam ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan jika mampu memanfaatkan peluang secara tepat.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, kawasan Asia-Pasifik memang masih lebih unggul dibandingkan wilayah lainnya. Namun, pertumbuhannya menunjukkan tren perlambatan. Data ESCAP menyebutkan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi negara berkembang di kawasan ini hanya mencapai 4,8% pada 2024, turun dari 5,2% di 2023 dan 5,5% dalam periode lima tahun sebelum pandemi Covid-19.
Situasi lebih mengkhawatirkan terjadi di negara-negara kurang berkembang (LDCs), yang hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,7% pada tahun 2024. Angka ini jauh dari target 7% per tahun yang ditetapkan dalam Sustainable Development Goals (SDG) 8. Artinya, tanpa perubahan kebijakan dan strategi yang signifikan, tujuan pembangunan berkelanjutan berisiko besar tidak tercapai di kawasan ini.
Untuk merespons tantangan tersebut, ESCAP mendorong pemerintah di kawasan Asia-Pasifik agar lebih aktif dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang berdaya saing tinggi. Fokusnya harus pada sektor-sektor yang produktif dan memiliki nilai tambah tinggi, sekaligus membuka ruang bagi investasi berkelanjutan dan teknologi ramah lingkungan.