Selain itu, Sudan juga ditempatkan dalam sorotan laporan tersebut atas ketidakmampuannya dalam menangani perekrutan tentara anak-anak. Laporan tersebut juga menyoroti peran teknologi dalam mempermudah pelaku perdagangan manusia untuk melintasi perbatasan, serta mencatat peningkatan penipuan dunia maya yang memanfaatkan orang-orang yang dipaksa untuk bekerja.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menyoroti fakta bahwa beberapa teknologi yang sama dapat digunakan untuk mengungkap dan menghentikan perdagangan manusia, serta membantu dalam meminta pertanggungjawaban para pelaku. Sementara itu, Vietnam telah dikeluarkan dari kategori "Tingkat 3" karena dianggap telah melakukan peningkatan dalam penyelidikan dan penuntutan terhadap kasus perdagangan manusia, serta memberikan bantuan yang lebih besar kepada para korban. Vietnam sendiri sebelumnya telah dimasukkan oleh AS ke dalam daftar yang sama selama dua tahun. Afrika Selatan dan Mesir telah mengalami perubahan status yang serupa, sementara Aljazair resmi dikeluarkan dari daftar tersebut.
Sebelumnya, China, Rusia, dan Venezuela juga masuk dalam daftar AS terkait perdagangan manusia, menandakan bahwa permasalahan ini tidak hanya terbatas pada satu wilayah tertentu. Keputusan AS dalam memasukkan Brunei ke dalam daftar hitam tersebut memunculkan pertanyaan tentang kondisi nyata di lapangan di negara tersebut, serta dampak-dampak yang mungkin muncul akibat keputusan tersebut. Mungkin perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk memahami secara mendalam mengenai upaya yang telah dilakukan oleh Brunei untuk menangani perdagangan manusia, serta reaksi dan langkah-langkah yang diambil sebagai respons atas keputusan AS yang kontroversial ini. Adanya tanggapan atau sikap resmi dari pemerintah Brunei maupun pihak terkait lainnya juga akan merupakan informasi yang relevan untuk dipertimbangkan dalam mengkaji kasus ini secara lebih komprehensif.