Padahal, integritas profesional jurnalis terletak pada akurasi. Jurnalis yang baik harus mampu menahan diri untuk tidak tergesa-gesa, melakukan konfirmasi silang dari berbagai sumber, dan memverifikasi setiap fakta sebelum dipublikasikan. Namun, praktik ini menjadi sulit ketika media lain sudah lebih dulu menyiarkan berita, bahkan jika itu belum terverifikasi. Situasi ini menciptakan dilema etis yang konstan bagi setiap jurnalis: antara kewajiban untuk menjadi yang terdepan atau kewajiban untuk menyampaikan kebenaran.
Menghadapi Kebanjiran Informasi dan Hoaks
Dulu, tugas jurnalis adalah mencari informasi. Sekarang, tantangannya adalah menyaring kebanjiran informasi yang datang dari berbagai arah. Setiap orang kini bisa menjadi "jurnalis warga" dengan ponsel pintar. Informasi, baik yang benar maupun salah, menyebar dengan sangat cepat.
Ini membuat pekerjaan jurnalis menjadi lebih sulit. Mereka tidak hanya harus mencari dan memverifikasi fakta, tetapi juga harus membongkar hoaks dan narasi palsu yang sudah telanjur dipercaya masyarakat. Memerangi hoaks membutuhkan waktu, sumber daya, dan ketelitian yang tinggi. Seringkali, artikel klarifikasi atau berita tandingan tidak menyebar secepat hoaks yang sensasional. Ini adalah perjuangan tanpa henti yang bisa sangat melelahkan.
Keselamatan Fisik dan Ancaman Digital
Jurnalis seringkali menempatkan diri mereka dalam situasi berbahaya demi meliput kebenaran. Mulai dari zona konflik, demonstrasi yang ricuh, hingga investigasi yang membongkar praktik korupsi. Ancaman terhadap keselamatan fisik adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi, ancaman juga datang dari dunia digital.