Dalam kondisi yang menyedihkan, mereka menghadapi dua pilihan: tetap di sana dan terus dieksploitasi atau membayar €2.000 (sekitar Rp33 juta) sebagai ‘uang tebusan’ untuk kebebasan mereka. Bagi banyak korban, jumlah ini mustahil untuk dibayarkan, membuat mereka terjebak dalam sistem perdagangan manusia yang kejam.
Pavena Hongsakula, pendiri yayasan Thailand untuk anak-anak dan wanita, mengungkapkan bahwa sel telur yang dikumpulkan dari para wanita tersebut kemungkinan besar dijual ke negara lain untuk keperluan fertilisasi in-vitro (IVF).
Keberanian tiga wanita Thailand yang berhasil melarikan diri pada 30 Januari 2025 membuka tabir kejahatan ini ke publik. Dengan bantuan Interpol dan Yayasan Pavena, mereka akhirnya bisa dibebaskan setelah membayar uang tebusan.
Dalam konferensi pers yang digelar minggu ini, salah satu korban mengungkapkan betapa mengerikan pengalaman yang mereka alami. Ia menggambarkan bagaimana mereka diperlakukan layaknya ternak, dipaksa menjalani prosedur medis tanpa persetujuan, dan terus dipantau agar tidak bisa melarikan diri.
Kasus ini pun menarik perhatian otoritas internasional. Interpol dan Kepolisian Thailand kini sedang menyelidiki jaringan kriminal di balik sindikat ini, sementara penyelidikan di Georgia juga terus berlangsung.
Perdagangan manusia dalam industri surrogacy ilegal telah menjadi perhatian global. Meskipun banyak negara memiliki regulasi ketat terkait praktik ibu pengganti, sindikat kriminal memanfaatkan celah hukum untuk mengeksploitasi perempuan dari negara-negara berkembang.
Pasar gelap sel telur dan praktik IVF ilegal juga menjadi industri menguntungkan bagi mafia internasional. Permintaan tinggi dari pasangan yang kesulitan memiliki anak, ditambah dengan minimnya regulasi di beberapa negara, membuat bisnis ini terus berkembang.