Selain itu, perjanjian ini juga mencakup pendirian Global Supply Chain and Logistics Network (GSCL), sebuah jaringan logistik global yang akan bertugas memastikan kelancaran distribusi produk kesehatan penting ke seluruh penjuru dunia selama masa krisis. Langkah ini dianggap vital karena selama pandemi sebelumnya, banyak negara mengalami kendala serius dalam mengakses peralatan medis dan vaksin akibat gangguan rantai pasok global.
Bukan hanya soal distribusi, isi perjanjian juga menekankan pentingnya pencegahan dan kesiapsiagaan global. Beberapa komitmen yang dimuat dalam perjanjian tersebut antara lain: penguatan tenaga kesehatan di seluruh negara, peningkatan riset dan pengembangan (R&D), transfer teknologi medis lintas negara, diversifikasi lokasi produksi alat kesehatan agar tidak terpusat di wilayah tertentu, hingga penguatan sistem regulasi serta pengawasan mutu produk kesehatan.
Pemerintah Indonesia, melalui PTRI Jenewa, menegaskan bahwa seluruh komitmen ini tidak hanya menjadi simbol diplomasi global, melainkan juga langkah konkret untuk membangun sistem kesehatan dunia yang lebih inklusif, adaptif, dan tangguh terhadap ancaman krisis di masa mendatang.
Rencananya, hasil kesepakatan ini akan secara resmi diadopsi dalam forum World Health Assembly (WHA) ke-78 yang akan digelar pada 19 hingga 27 Mei 2025. Namun demikian, implementasi penuh dari perjanjian ini masih akan menunggu penyusunan detail teknis yang tercantum dalam lampiran perjanjian (Annex), yang baru akan mulai dibahas pada bulan September 2025.
Sebagai negara pelopor dalam prinsip keadilan global di bidang kesehatan, Indonesia menegaskan bahwa pelaksanaan perjanjian ini harus menjunjung tinggi semangat kerja sama internasional. Pemerintah Indonesia mendorong agar setiap negara, tanpa terkecuali, dilibatkan dalam proses dan tidak ada negara yang ditinggalkan dalam penanganan krisis kesehatan skala global.