Toxic positivity adalah fenomena yang semakin banyak dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun sering kali dimaksudkan untuk membantu, toxic positivity dapat memiliki dampak negatif pada individu yang sedang berjuang dengan berbagai emosinya. Substitusi perasaan negatif dengan ungkapan positif yang berlebihan dapat membuat orang merasa tidak nyaman untuk menunjukkan atau mengatasi masalah mereka. Lalu, bagaimana kita mengenali toxic positivity?
Salah satu tanda pertama dari toxic positivity adalah ketika seseorang menggunakan ungkapan yang seolah-olah meremehkan atau mengabaikan perasaan negatif orang lain. Contohnya, jika seseorang berbicara tentang rasa sedih karena kehilangan pekerjaan dan teman-teman mereka menjawab dengan, "Jangan khawatir, segalanya akan baik-baik saja," itu adalah bentuk toxic positivity. Ungkapan ini bukan hanya tidak membantu, tetapi juga dapat membuat orang yang terluka merasa terasing dan tidak dimengerti.
Selain itu, toxic positivity sering kali terlihat dalam budaya yang menekankan pentingnya berpikir positif tanpa mempertimbangkan konteks. Ketika semua orang di sekitar Anda terus-menerus mengajak untuk "menjadi positif" bahkan dalam situasi sulit, itu dapat menciptakan tekanan untuk menyembunyikan perasaan sebenarnya. Rasa malu untuk merasakan kesedihan, kemarahan, atau stres dapat mengakibatkan efisiensi dalam menghadapi masalah yang dihadapi individu.