" banyak yang merasa terjebak dan itu bukan karena mereka membuat pilihan untuk terus berada di sana, tetapi karena mereka tak punya pilihan lain yang lebih baik," tambah Giampietro. Dampak dari kondisi ini sangat serius, seperti turunnya keterlibatan dan kepuasan kerja, tergerusnya moral tim, menurunnya produktivitas, dan meningkatnya risiko burnout. Sebuah laporan terbaru dari Gallup bahkan menunjukkan bahwa keterlibatan karyawan di seluruh dunia mengalami penurunan, dari 23 persen menjadi 21 persen pada 2024, dengan kerugian produktivitas yang diperkirakan mencapai sekitar 438 miliar dolar AS.
Sementara itu, mengingat semakin meningkatnya tekanan di dunia kerja, Giampietro juga memperingatkan bahwa gejala "quiet cracking" seringkali mirip dengan tanda-tanda burnout, meskipun mungkin dengan skala yang lebih ringan. Gejala fisik seperti sakit kepala, cepat merasa lelah, dan sering kali absen karena sakit dapat muncul.
"Performa pun bisa berubah, misalnya seorang top performer yang sebelumnya menunjukkan hasil luar biasa mungkin mengalami inkonsistensi, atau rekan kerja yang umumnya ceria tiba-tiba menjadi pendiam dan pesimis," ungkapnya.
Dalam menghadapi tantangan ini, para atasan diharapkan lebih peka terhadap perubahan perilaku yang terjadi dalam tim mereka. Penting untuk tidak langsung menganggap bahwa perubahan tersebut berhubungan dengan masalah kinerja semata. Sebaliknya, sangat disarankan untuk mengajak berbicara secara personal. Adakan dialog yang membuka kesempatan bagi karyawan untuk berbagi perasaan mereka. Giampietro menyarankan, "Sesederhana mengatakan: 'Saya perhatikan ada perubahan, boleh kita ngobrol? Saya cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja' dapat sangat membantu."