Dalam beberapa tahun terakhir, istilah "quiet quitting" telah menjadi sorotan sebagai simbol pentingnya masalah di dunia kerja. Namun saat ini, para atasan perlu mewaspadai fenomena baru yang dikenal dengan sebutan "quiet cracking". Fenomena ini diungkapkan oleh Frank Giampietro, Chief Well-being Officer EY Americas, yang menjelaskan bahwa "quiet cracking" terjadi ketika karyawan tetap datang ke tempat kerja dan menjalani rutinitas sehari-hari, namun sesungguhnya mereka sedang berjuang dengan tekanan emosional dan mental yang tidak terlihat oleh mata telanjang.
Meskipun mereka tampak "baik-baik saja" di luar, realitanya banyak dari mereka yang tidak merasakan perkembangan atau kebahagiaan di lingkungan kerja mereka, sehingga terjebak dalam keadaan yang disebut "retak dalam diam". Giampietro menegaskan, "Apa yang kita lihat akhir-akhir ini adalah banyak orang yang sebenarnya bertahan dengan perusahaan tempat mereka bekerja saat ini, tetapi mereka tidak benar-benar berkembang."
Fenomena ini semakin mencuat akibat situasi pasar kerja yang mengalami stagnasi. Banyak karyawan tidak lagi berani untuk berpindah kerja meskipun berada pada posisi yang tidak memuaskan, disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi yang melanda, terbatasnya peluang kerja, serta proses perekrutan yang semakin lambat. Walaupun demikian, penelitian menunjukkan bahwa berpindah tempat kerja saat ini dapat memberikan dampak finansial yang lebih merugikan dibandingkan bertahan dalam perusahaan yang lama.