Kedua, ada risiko terjadi over-diagnosis atau under-diagnosis. Over-diagnosis berarti kamu merasa punya banyak gangguan mental padahal sebenarnya tidak. Ini bisa bikin kamu jadi terlalu cemas, labeling diri sendiri, dan akhirnya membatasi potensi diri. Sementara itu, under-diagnosis berarti kamu mengabaikan gejala serius karena kamu merasa itu "biasa saja" atau "bukan apa-apa" setelah membandingkan dengan konten viral. Ini bisa menunda kamu mencari bantuan profesional yang padahal sangat kamu butuhkan.
Ketiga, self-diagnosis bisa menghambat kamu untuk mendapatkan validasi profesional yang sebenarnya sangat penting. Para psikolog atau psikiater itu belajar bertahun-tahun, mereka punya ilmu, pengalaman, dan alat diagnostik yang teruji untuk bisa menentukan kondisi seseorang dengan tepat. Mereka tidak hanya melihat gejala permukaan, tapi juga menggali riwayat hidup, faktor lingkungan, dan berbagai aspek lain yang membentuk kondisi mentalmu. Kalau kita sudah merasa tahu sendiri, kita jadi enggan untuk berkonsultasi, padahal itulah jalan terbaik menuju penanganan yang efektif.
Keempat, informasi di TikTok atau media sosial lainnya itu seringkali terlalu umum dan tidak spesifik. Mereka nggak bisa menggantikan konsultasi pribadi dengan ahli yang bisa memahami kondisi unikmu. Selain itu, banyak konten yang dibuat oleh orang yang tidak punya latar belakang profesional di bidang kesehatan mental. Meskipun niatnya baik, tapi informasinya bisa jadi tidak akurat atau menyesatkan.