Di tengah banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai sektor di seluruh dunia, profesi influencer justru menunjukkan laju pertumbuhan yang pesat dan menggembirakan. Transformasi digital yang terus berlanjut memberikan berbagai peluang baru bagi individu yang ingin memanfaatkan situasi sulit ini untuk menghasilkan pendapatan. Itu sebabnya, profesi yang sebelumnya seringkali dianggap sebelah mata kini menjadi primadona dalam dunia pemasaran modern.
Kenaikan pesat jumlah influencer ini tidak terlepas dari kemampuan mereka untuk mengubah perilaku konsumen melalui konten yang sangat relatable dan relevan. Menariknya, banyak influencer yang berhasil meraih kepopuleran bukanlah selebritas, melainkan individu biasa yang berhasil viral di platform media sosial. Salah satu contohnya adalah Ashton Hall, seorang influencer kebugaran yang berhasil menarik perhatian publik lewat video viralnya yang menunjukkan rutinitas paginya dengan cara unik, yaitu mencelupkan kepalanya ke dalam air mineral dingin merek Saratoga. Tindakan yang sederhana, namun menarik perhatian banyak orang.
Platform TikTok pun menjadi area utama bagi influencer untuk mempromosikan produk-produk, seperti tas dari merek Coach yang dihias dengan grafis ceri dan pretzel, yang tiba-tiba menjadi tren di kalangan Generasi Z dan meningkatkan angka penjualan secara signifikan. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam dunia pemasaran saat ini.
Menurut data yang dirilis oleh Statista, industri pemasaran influencer di seluruh dunia diproyeksikan akan tumbuh hingga 36% dalam tahun ini, mencapai nilai sekitar US$33 miliar atau setara dengan Rp540 triliun. Temuan dari Deloitte juga sangat menarik, yang menunjukkan bahwa tahun lalu, belanja merek terhadap konten kreator meningkat hingga 49% secara global. Bahkan, mereka mencatat bahwa seperempat dari total anggaran untuk media sosial kini dialokasikan khusus untuk para influencer.