Di era digital saat ini, kita sering kali dihadapkan pada fenomena yang semakin mengkhawatirkan: budaya pencitraan. Budaya ini menempatkan kepopuleran di atas nilai-nilai kebaikan dan ketulusan hati. Dalam masyarakat yang terobsesi dengan penampilan, baik di dunia nyata maupun di ranah media sosial, banyak orang yang lebih memilih untuk terlihat baik daripada menjadi baik. Fenomena ini kerap disebut sebagai kepopuleran semu.
Berkembangnya media sosial telah menciptakan lingkungan yang merangsang kebutuhan individu untuk tampil sempurna. Setiap momen dalam hidup sepertinya harus dikurasi dan disajikan sedemikian rupa agar mendapat pengakuan dan apresiasi dari orang lain. Orang-orang berlomba-lomba untuk meningkatkan jumlah 'likes' dan 'followers', sering kali mengorbankan nilai-nilai personal yang lebih mendalam. Dengan demikian, perhatian kita lebih tertuju pada branding diri ketimbang pada esensi dari setiap tindakan kita.
Dalam konteks ini, budaya pencitraan memproduksi individu-individu yang lebih peduli tentang citra mereka daripada tentang kebaikan hati. Mereka mungkin terlihat hangat dan baik dalam pandangan publik, tetapi di balik layar, mereka sering kali tidak menunjukkan ketulusan hati. Dalam banyak kasus, tindakan mereka lebih bersifat strategis untuk memperoleh popularitas daripada berlandaskan pada niatan untuk membantu dan berbuat baik.