Misalnya, banyak tokoh publik yang melakukan kebaikan dengan disertai fanfare besar-besaran. Tindakan amal mereka sering kali menjadi konten yang dikonsumsi massal, bukan semata-mata karena niat baik. Mereka lebih memilih untuk membangun citra sebagai dermawan ketimbang mengedepankan nilai altruistik dari tindakan tersebut. Kegiatan amal yang seharusnya menjadi momen untuk berbagi dan peduli kepada sesama, berubah menjadi alat untuk memperkuat kepopuleran semu. Ini menggambarkan bagaimana jiwa sosial dapat dikompromikan demi mendapatkan pengakuan.
Budaya pencitraan juga menjadikan kita skeptis terhadap kebaikan yang sesungguhnya. Ketika kita melihat orang-orang melakukan aksi kebaikan, sering kali kita mempertanyakan niat asli mereka. Apakah mereka benar-benar ingin membantu? Ataukah mereka hanya ingin memamerkan kebaikan mereka untuk mendapatkan pujian? Ini menciptakan semacam disonansi sosial, di mana kita terperangkap dalam keraguan yang menghalangi kita untuk menerima ketulusan hati orang lain.
Lebih lanjut, fenomena ini juga melahirkan standar ganda, di mana individu yang tidak mampu mempertahankan citra sosial yang diharapkan dapat terasing. Mereka yang berusaha untuk tulus dan berbuat baik tanpa perhatian publik sering kali diabaikan atau dianggap "tidak menarik". Dalam dunia di mana kepopuleran semu mendominasi, kita satu langkah lebih jauh dari potensi kebaikan yang dimiliki setiap individu.