https://m.tempo.co/read/news/2014/11/10/078620983/pidato-berbahasa-inggris-jokowi-bisa-langgar-sumpah
Apa bedanya pikiran saya dengan Hikmahanto? Bisa dibilang 98 % sama. Sekalipun kedua pikiran tersebut hampir sama, toh Jokowi lebih mendengarkan Hikmahanto yang berpredikat sebagai pakar hukum internasional dari perguruan tinggi terkenal ketimbang saya yang silent majority dan bukan siapa-siapa ini. Tapi, cuekin saja.
Tapi, bukan berarti suara silent majority tidak mampu menggugah apalagi hanya sekadar mengubah. Contohnya, artikel “Quick Count Ngawur: Di Arab Jokowi Raih 75 %, Prabowo Caplok 20 %” http://www.kompasiana.com/gatotswandito/quick-count-ngawur-di-arab-jokowi-raih-75-prabowo-caplok-20_54f6bdf1a333114c5c8b47ed
yang ditayangkan pada 5 Juli 2014. Sekalipun saat itu saya dibuli oleh banyak pendukung Jokowi. Saya dikatakan sok tahu, naif, sok pinter, keminter, dan lain sebagainya, toh tulisan itu sulit dibantah kebenarannya.
Dan besoknya, sejumlah media online memiliki dua opsi: menghapus berita ngawur yang sudah dipublikasikan atau mengubah judul dan isi beritanya. Jadi, jelas suara silent majority di Kompasiana sudah mampu mempengaruhi sejumlah media nasional.
Sebenarnya, dengan adanya media sosial, blog, silent majority sudah ambil bagian dalam proses demokrasi di negara ini. Bahkan, suara silint majority lebih lantang dari para vocal minority.
Dengan hadirnya internet, The silent majoritywill be no silent more. Lebih dari itu, banyak juga yang mengatakan kalau saat ini the silent majority is dead. Silent majority sudah mati.
Sebelumnya, maaf kalau contoh yang diambil berasal dari artikel yang saya tulis sendiri. Lha, masa iya saya mau bangga-banggakan tulisan orang lain yang sama-sama “bukan siapa-siapa”.
Yang penting jangan takut menulis. Jangan takut salah beropini. Sebab opini boleh salah. Meski begitu, menulis opini tidak bisa mengandalkan “muka badak”.
Ibaratnya, kalau ada prediksi cuaca yang mengatakan sore nanti akan turun hujan, maka kita harus menyiapkan payungi. Kalau pun pada sore itu hujan tidak turun, maka hal itu bukanlah sebuah kesalahan.
Justru menjadi salah kalau pada sore itu kita tidak membawa payung. Jadi, menayangkan artikel opini harus tetap terukur sesuai dengan literasi, pengamatan, atau pengalaman penulisnya. Itulah yang membuat opini yang diunggah di dunia maya menjadi layak dipertimbangkan dan dipantau oleh sejumlah pihak.
Dan, jangan pernah juga merasa dirinya belum layak menuliskan opininya, sebab urusan tulis-menulis saja belum bisa. Pertanyaannya, memangnya yang rajin ngeblog dengan jumlah pembaca sampai jutaan orang itu sudah bisa menulis dengan benar?
Kalau mau menayangkan tulisan atau artikel yang baik dan benar pastinya membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengeditnya. Sementara, terkadang opini harus tayang secepat mungkin selagi isu yang diopiikan sedang hangat-hangatnya.
Malah bisa dibilang, menulis artikel di dunia maya ini bisa eenak udelnya sendiri. Yang penting tulisan yang ditayangkan bisa dibaca. Kalau pun sulit dimengerti orang, ya terserah.
Meski menuliskan di dunia maya boleh seenak udelnya sendiri, jangan lupakan UU ITE dan KUHP. Jangan sampai artikel yang diunggah melanggar hukum. Inilah yang menjadi rambu dunia penulisan.