Menurut pakar hukum tata negara ini, kedua pasal itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD yang berbunyi "Pasangan Capres dan Cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu". Jika permohonan Yusril dikabulkan, maka mau tidak mau Pemilu 2014 harus dilaksanakan secara serentak atau Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden digelar di hari yang sama.
Banyak yang menduga, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kalau MK akan mengabulkan uji materi. Bagaimana pun Yusril memegang prestasi cemerlang dalam soal uji materi.
"Saya dengar, mudah-mudahan tidak benar dan tidak terjadi, konon katanya, Perppu tentang MK ini dikaitkan dengan apa yang ditangani MK. Yaitu persoalan UU Pemilihan Presiden, apakah berlaku sekarang ini ada perubahan, threshold, calon presiden. Saya dengar bisik-bisik politik itu bisa dikaitkan. Saya tidak percaya," ungkap SBY di Taman Mini Indonesia Indah, Jaktim pada 18 Desember 2013 (http://news.liputan6.com/read/778263/sby-bisik-politik-perppu-mk-terkait-pilpres-saya-tidak-percaya).
Entah bagaimana cara SBY mengaitkan antara Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dengan UU Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diuji materi di MK. Tapi, itulah informasi yang diterima oleh SBY ketika itu. Wajar saja kalau SBY jadi galau mendengar bisik-bisik tersebut. Kegalauan SBY itu ditulis dalam artikel “Dengar Gosip, Pak Presiden Galau”.
http://www.kompasiana.com/gatotswandito/dengar-gosip-pak-presiden-galau_552911686ea834ff218b46d9
Tentang pengajuan uji materi Yusril ini sudah ditulis dalam artikel “Plus-minus Bila MK Kabulkan Permohonan Yusril Terkait Pencapresan”
http://www.kompasiana.com/gatotswandito/plus-minus-bila-mk-kabulkan-pemohonan-yusril-terkait-pencapresan_5528d037f17e61110d8b456f
yang ditayangkan pada 15 Desember 2013. Sepertinya, Yusril optimis permohonannya judicial review-nya ini bakal dikabulkan MK. Sepertinya Yusril lupa bila dalam keputusannya MK tidak hanya menimbang sisi “teks hukum” saja. Ada faktor lain yang dijadikan MK sebagai acuan untuk mengambil keputusan. Bagi MK yang terpinting adalah apakah keputusannya itu menguntungkan atau merugikan masyarakat.
Kemudian pada 23 Januari 2014 atau pada hari yang sama di mana MK akan ketuk palu soal permohonan judicial review yang diajukan Effendi Ghazali saya menayangkan “Hindari Chaos, MK Harus Tolak Permohonan "Pemilu Serentak".
http://www.kompasiana.com/gatotswandito/hindari-chaos-mk-harus-tolak-permohonan-pemilu-serentak_5528d1806ea8347e658b45b3
Isinya, “...Pergeseran kekuatan politik secara normal (pemilu sesuai rencana) saja berpotensi menimbulkan goncangan, apalagi bila pergeseran tersebut mengalami “hentakan”. Bila “hentakan” tersebut tidak bisa dikelola secara bijak oleh aparat keamaan, mulai dari polisi, TNI, dan intelijen pasti akan terjadi instabilitas keamanan. Instabilitas keamanan ini pastinya akan berdampak terhadap kehidupan rakyat secara umum.” Dari argumen tersebut, saya menyakini kalau MK akan menolak gugatan yang dimohonkan oleh Yusril.
Dan, ternyata jalan pikiran saya benar. MK mengabulkan uji materi yang dikabulkan oleh Effendi Ghazali, tetapi menolak permohonan yang diajukan oleh Yusril. Pemilu serentak pun akhirnya baru dapat dilaksanakan pada 2019. Dengan demikian, pikiran saya yang dituangkan dalam artikel di Kompasiana ini lebih tepat ketimbang pikiran pakar hukum tata negara dan juga bisikan yang diterima oleh Presiden SBY.
Tapi, sebagai silent majority, jelas tulisan saya tersebut tidak bakal dirujuk oleh para pembesar negeri ini. Ini mirip dengan artikel “Berbahasa Inggris Di Istana Jokowi Melanggar Sumpah”
http://www.kompasiana.com/gatotswandito/berbahasa-inggris-di-istana-jokowi-melanggar-sumpah_54f41558745513a42b6c85d6
yang saya tayangkan hanya beberapa jam setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden RI Ke-7. Saya berpikir, Jokowi telah melanggar UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sekalipun sudah diingatkan lewat tulisan di Kompasiana, toh Jokowi tetap saja cas-cis-sus.
Sampai kemudian Ahli hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Presiden Joko Widodo sudah melanggar sumpahnya sebagai Presiden Republik Indonesia jika berpidato menggunakan bahasa Inggris di salah satu sesi Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation di Beijing. Pernyataan Hikmahanto itu diberitakan sejumlah media, salah satunya Tempo.co yang menulis “Pidato Berbahasa Inggris, Jokowi Bisa Langgar Sumpah”.