Banyak yang bilang “Siapa Lo, Lo kan Cuma bisa nulis doang. Di blog pulak”. Bagi yang baru menekuni aktivitas tulis-menulis artikel, khususnya yang berbau politik, pastinya kata-kata itu langsung membuat semangatnya mengendur. Tapi, bagi yang sudah “karatan”, kata-kata yang merendahkan itu tidak pernah dianggap. “Kentut saja lebih bau dari kata-kata itu.”
Gegara comohan merendahkan itu tidak sedikit penulis yang jadi minder, merasa dirinya tidak pantas menyampaikan pendapatnya. Kemudian menutup rapat-rapat dunia tulis-menulis.
Kok bisa ada warganet, netizen, blogger yang berpikir dirinya tidak pantas menulis, tidak pantas menyampaikan pendapat, dan tidak layak ini dan itu lainnya? Singkatnya, banyak penulis artikel yang merasa dirinya bukan siapa-siapa.
Padahal, dunia internet menjadikan “siapa-siapa menjadi bukan siapa-siapa”. Sebaliknya, dunia internet pun menjadikan “bukan siapa-siapa menjadi siapa-siapa”.
Seseorang yang bukan siapa-siapa, karena tidak mengantongi sederetan gelar akademis, belum pernah masuk tivi dengan predikat sebagai pengamat, juga tidak pernah wara-wiri di infotainment, bisa jadi sebenarnya kita ini adalah “siapa-siapa”.
Ada sederetan nama beken yang juga dikenal sebagai blogger. Sebut saja, dari Wapres Jusuf Kala, Mantan KSAU Chappy Hakim, Mantan Ketua DPR RI Marzuki Alie, Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 Anis Baswedan.
Ada juga artis lawas Marissa Haque, budayawan Arswendo Atmowiloto dengan akun samarannya, purnawirawan TNI AU sekaligus mantan staf khusus bidan intelijen di Era SBY, Marsda Prayitno Ramelan Ada pakar hukum tata negara yang juga penulis pidato Presiden H.M. Soeharto, Profesor Yusril Ihza Mahendra. Dan masih banyak lagi orang tenar lainnya.
Tapi, di dunia blogging, nama-nama beken itu bukanlah siapa-siapa. Blogger yang bukan “siapa-siapa” bisa mendebat tulisan yang ditayangkan oleh para pakar dalam bidangnya. Malah anggota yang bukan siapa-siapa ini, kadang lebih “nyaring” tulisannya ketimbang anggota yang “siapa-siapa”.
Di alam blogging, masyarakat yang di dunia nyata dianggap bukan “siapa-siapa” atau yang biasa disebut dengan silent majority bisa menyuarakan pemikirannya.
Mungkin sudah menjadi budaya di belahan bumi manapun bila silent majority selalu dianggap warga kelas dua yang tidak tahu apa-apa tetapi berisik. Stempel tidak tahu apa-apa, sok tahu, culun, naif, pengganggu, dan lain sebagainya, mau tidak mau membuat netizen menjadi minder untuk menuliskan gagasannya.
Gegara stempel itu, banyak netizen yang tidak berani menyuarakan gagasan, pikirannya, atau opininya dalam bentuk tulisan. Mereka takut dikatai “sok pinter”, “keminter”, atau bahkan tidak tahu diri.
Tetapi, faktanya tidak demikian. Saya yang termasuk dalam kelompok “yang bukan siapa-siapa bisa beradu pikiran dengan Yusril. Kurang apa Yusril. Ia bergelar akademik Profesor Doktor Hukum Tata Negara. Yusril pernah menduduki berbagai jabatan di kementerian pada sejumlah kabinet. Yusril juga diketahui sebagai pesaing Abdurahman Wahid dan Megawati saat pemilihan calon presiden 1999-2004 dalam sidang umum MPR RI pada 1999.
Yusril juga kerap hadir dalam berbagai talk show yang ditayangkan berbagai stasiun televisi. Meski demikian, toh berbagai “predikat” yang menempel pada Yusril bukanlah “teror” bagi saya untuk tidak mendebatnya. Di alam maya, kedudukan Yusril dengan ratusan ribu silent majority lainnya sejajar.
Sekarang ini, banyak politisi, pengamat, pakar, dan lainnya yang meributkan soal pemberlakukan presidential threshold (PT) pada pemilu serentak 2019 nanti. Kalau isu ini manjadi kontroversial ini baru diributkan pada saat ini, tidak demikian dengan di Kompasiana. Di Kompasiana, tulisan tentang PT sudah ditayangkan sejak lebih dari 2,5 tahun yang lalu.
Lewat artikel “Dampak Presidential Threshold yang Tidak Terpikirkan DPR dan Para Pakar” http://www.kompasiana.com/gatotswandito/dampak-presidential-threshold-yang-tidak-terpikirkan-dpr-dan-para-pakar_552844356ea8347f2a8b45bc
yang ditayangkan pada 1 Agustus 2013, saya sudah menuliskan kalau PT harus 0 %. Dalam artikel tersebut saya menuliskan, “Oleh karena itu sebaiknya untuk pemilu presiden ke depan, PT ditetapkan 0% (nol persen)”Dan, kalau sekarang PT hangat diperdebatan, maka isu itu sudah lama didengungkan di Kompasiana ini.
Yang menarik saat Yusril mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Yusril Izha Mahendra kembali mengajukan permohonan uji materi. Kali ini menguji materi Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 UU No 42/ 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.