Sebelum pandemi, tingkat keterisian gedung perkantoran mencapai di atas 80%, atau sekitar 83-84%. "Menurut pandangan saya, sebelum pandemi, sudah terjadi kelebihan kapasitas sehingga terjadi penumpukan pasokan. Kemudian kondisi ini semakin diperparah dengan adanya pandemi," paparnya.
Lalu, bagaimana nasib gedung perkantoran kedepannya? Apakah akan terjadi penundaan atau penurunan permintaan, serta pengurangan pasokan baru, terutama menjelang pergantian pemerintahan?
Artadinata menegaskan bahwa karena kondisi belum membaik, pembangunan kantor baru akan sangat minim. "Saya kira hal ini tidak terkait dengan 'wait and see' (pergantian pemerintahan)," tegasnya.
Dengan adanya kebijakan baru yang mungkin akan diperkenalkan oleh pemerintah yang baru, pasar properti perkantoran di Jakarta dapat mengalami perubahan lebih lanjut. Dikhawatirkan bakal muncul penurunan aktivitas di sektor ini, terutama jika ada kebijakan pengurangan investasi atau pembatasan regulasi.
Pengelolaan kondisi lingkungan juga turut berperan dalam kesulitan penjualan gedung perkantoran. Faktor eksternal seperti polusi udara, kemacetan lalu lintas, dan kurangnya fasilitas umum yang memadai juga dapat menjadi alasan kurangnya minat terhadap gedung perkantoran di Jakarta.
Meskipun demikian, strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan daya tarik gedung perkantoran antara lain dengan meningkatkan kualitas ruang dan fasilitas, memperbaiki akses transportasi, serta mengintegrasikan teknologi hijau sebagai bagian dari solusi untuk menarik minat penyewa.