Meskipun potensi manfaatnya besar, wacana redenominasi rupiah kerap menghadapi resistensi publik. Kekhawatiran utama masyarakat adalah inflasi, kebingungan dalam transaksi, dan dampak psikologis terhadap daya beli. Namun, para ekonom menekankan bahwa redenominasi bukan berarti inflasi otomatis meningkat. “Redenominasi murni perubahan nominal. Selama komunikasi dan implementasi dilakukan dengan baik, masyarakat tidak akan merasa terbebani,” jelas Dr. Rini.
Tekanan terhadap rupiah juga didorong oleh dinamika global. Penguatan dolar AS akibat kebijakan moneter The Fed, ketegangan geopolitik, dan harga komoditas yang fluktuatif turut memperbesar volatilitas mata uang domestik. Dalam beberapa bulan terakhir, nilai tukar rupiah memang terus bergerak melemah, meski BI telah melakukan beberapa intervensi strategis di pasar.
Pakar keuangan, Adrian Sutanto, menekankan pentingnya langkah preventif. “Jika kita menunggu sampai rupiah benar-benar menembus Rp20.000 per dolar AS, dampaknya akan lebih besar, termasuk pada biaya impor, harga bahan baku, dan daya beli masyarakat. Redenominasi bukan hanya tentang nominal, tapi juga soal menjaga kredibilitas ekonomi Indonesia di mata internasional,” kata Adrian.
Selain redenominasi, pemerintah juga terus mendorong stabilitas makroekonomi melalui berbagai kebijakan fiskal dan ekonomi. Subsidi energi, penguatan ekspor, dan insentif bagi investasi menjadi upaya pemerintah menyeimbangkan defisit transaksi berjalan dan mengurangi tekanan pada rupiah. Namun, langkah-langkah ini dinilai tidak cukup efektif jika masalah struktural seperti denominasi mata uang tidak diselesaikan.
Di kalangan investor, ketidakpastian nilai tukar seringkali menjadi faktor penentu keputusan investasi. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS dapat mendorong capital flight, di mana investor lebih memilih aset dalam dolar yang relatif stabil. Hal ini semakin memperkuat argumen bahwa redenominasi perlu segera dibahas secara serius dan disosialisasikan kepada publik.