Rokok murah mulai membanjiri pasar di Indonesia sejak pandemi Covid-19 melanda negara tersebut. Dampak dari pandemi, seperti penurunan pendapatan, kehilangan pekerjaan, dan perpindahan orang ke daerah, telah memicu kenaikan produksi dan penjualan rokok yang lebih terjangkau secara harga. Fenomena ini berimbas kepada produsen rokok besar, terutama yang biasa mendominasi pasar rokok tier satu dan harganya lebih tinggi.
Dari pernyataan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, disebutkan bahwa ada kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sebesar 10% per Januari 2024. Kenaikan ini sesuai dengan keputusan Presiden Joko Widodo pada 2022. Keputusan ini mengatur kenaikan tarif CHT dua tahun berturut-turut, yakni pada 2023 dan 2024.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 109/PMK.010/2022 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, ada sembilan golongan struktur tarif cukai yang terbagi menjadi sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek tangan (SKT), sigaret putih tangan (SPT), Sigaret Kretek Tangan Filter, rokok kemenyan, tembakau iris, rokok daun atau klobot (KLB), dan cerutu.
Kelas SKM dan SPM sendiri terbagi atas dua golongan, yakni golongan I atau tier I dengan produksi lebih dari 3 miliar batang, dan tier II yakni kurang dari 3 miliar batang. Golongan I pada SKM dan SPM adalah produsen rokok terbesar di Indonesia. Fenomena banyaknya konsumen yang beralih ke rokok murah tercermin dari penurunan penerimaan cukai yang hanya mencapai 95,4% dari target. Hal ini menyebabkan banyak produsen rokok turun ke kelompok 3 yang tarifnya lebih murah, dan bahkan berdampak pada penurunan penerimaan cukai.