Apalagi bilang Agus, Mei 2017 lalu, lembaga pemeringkat S&P menyematkan rating investment grade. Kemudian, nilai tukar tahun lalu berada diperingkat dua terbaik Asia. Saat ini, secara year to date (YTD) rupiah terdepreasi 1 persen, alias stabilitas rupiah terjaga dengan baik. Bandingkan misalnya tahun 2013-2014, rupiah kala itu terkoreksi hingga 21 persen.
Nah, kalau ada tekanan tiga minggu terakhir dari luar, itu karena pemerintah AS berencana memangkas pajak dari 35 persen menjadi 20 persen. Dan, rencana tersebut mendapat dukungan parlemen. Kemudian ada pekulasi pergantian gubernur The Fed Februari mendatang.
Pasar melihat figur apakah akan ekspansif atau sama dengan Jennet Yellen. ”Ya, pasar menimbang sosok siapa yang akan menduduki posisi Gebernur The Fed, menggantikan Jennet Yellen,” ulas Agus.
Secara umum sambung Agus, setelah investment grade, tahun lalu dana masuk tercatat Rp 120 triliun, lalu tahun ini hingga Oktober terakumulasi Rp 130 triliun. Perlu diwaspadai transaksi berjalan, ekspor dibanding impor. Transaksi berjalan sejak edisi 2012 terus negatif, sedang negara-negara tetangga surplus. Jadi, ekspor harus lebih baik dari impor sehingga nerca pembayaran positif, tahun lalu USD 12 miliar. ”Dan, tahun ini diperkirakan surplus USD 9 miliar,” tukasnya.
Sejatinya sambung Agus, neraca perdagangan positif. Pada semester pertama tahun ini sudah surplus UDS 10 miliar. Perlu diwaspadai transaksi berjalan itu diikuti neraca jasa. Di mana, jasa transportasi memakai luar negeri. Itu menyebabkan tekanan pada neraca jasa. Kemudian, asuransi juga demikian, reasuransi hampir seluruhnya lari keluar negeri. Efeknya, ada defisit pada asuransi dan transportasi.
Selain itu, ada tekanan dipendapatan yang tecermin dari pendapatan keluar saat membayar bunga karena surat utang dimiliki asing, dan ada banyak forign direct investmen ke ind, dan indonesia harus bayar deviden keluar. ”Tahun depan ekonomi optimistis tumbuh 5,1-5,5 persen. Parlemen setuju 5,4 persen sejalan proyeksi BI. Inflasi akan berada di kisaran 3,5 plus minus 1 persen, stabilitas sistem keuang dan makro ekonomi positif,” yakin mantan Direktur Bank Mandiri itu.
Ketua Kadin Rosan Roeslani kurang lebih mengutarakan hal serupa. Kendati begitu, Rosan mengingatkan ada yang perlu diperhatikan. Pertama soal kebijakan pemerintah tidak konsisten. Inkonsistensi kebijakan pemerintah pusat itu, menghambat investor menanam modal di indonesia. Kalau sekadar demo tidak masalah, karena demo telah masuk salah satu faktor dan pertimbangan pengusaha. ”Problemnya, kebijakan berubah-ubah. Itu berdampak langsung pada kegiatan bisnis pengusaha,” beber Rosan.