"Kalau impor barang konsumsi meningkat sebenarnya tidak begitu baik, berarti prilaku kita semakin konsumtif. Namun rasanya tidak perlu khwatir karena angka share barang konsumsi masih kecil, tapi tetap saja harus hati-hati. Kemarin sempat mengalami kenaikan karena momen lebaran," terangnya.
Kemudian, peningkatan impor non migas terbesar Oktober 2017, di antaranya besi dan baja HS 72 sebesar 182,9 juta (28,68 persen). Selanjutnya impor mesin pesawat mekanik HS 84 dan bahan kimia organik HS 29. Sementara penururan terbesar dari bahan bakar mineral HS 27 sebesar US$ 57 juta atau 52,10 persen. Lalu, ampas sisa industri makanan HS 23 dan kakao HS 18.
Ia menyebutkan, total impor kumulatif Januari - Oktober 2017 adalah US$ 126,86 miliiar atau naik 14,15 persen. Impor berasal dari Tiongkok 26,12 persen dengan komoditas sparepart notebook. Kemudian Jepang sebesar 11,55 persen dari komoditas sparepart mobil. Terakhir Thailand sebesar 7,33 persen dari sparepart motor vehicle sport.
Melihat perkembangan ekspor dan impor Oktober 2017, BPS mengukur neraca perdagangan mengalami surplus US$ 0,90 miliar. Sebab nilai ekspor lebih besar dari impor. Terutama surplus sektor non migas US$ 1,69 miliar. Namun terkoreksi oleh defisit neraca perdagangan sektor migas sebesar US$ 0,79 miliar.
Dari sisi neraca volume perdagangan, Indonesia mengalami surplus 35,56 juta ton pada Oktober 2017. Hal ini didorong oleh surplus neraca sektor non migas 36,24 ton. Namun, neraca volume perdagangan sektor migas mengalami defisit 0,68 juta ton.
"Dari petanya masih sama tahun ke tahun, ekspor dari industri pengolahan berpeluang besar untuk ditingkatkan. Kita masih bisa menghasilkan nilai tambah dari yang sudah ada. Artinya industri ini menjanjikan," tegasnya.
Menurutnya, masih banyak industri yang tergantung pada bahan penolong. Ia berharap, bahan baku penolong bisa diproduksi dalam negeri agar menekan angka impor. Sehingga, sebisa mungkin barang-barang tersebut cukup diproduksi dalam negeri saja.
"Sedangkan yang tidak bisa kita produksi baru impor. Tapi bukan cuma karena kita mampu produksi, perlu diperhatikan juga soal harga yang kompetitif. Misalnya menggitung apa harga produksi lebih rendah dari harga impor," tutupnya.