Seekor anak sapi dan induknya berjalan santai menyeberangi jalan yang berdebu dan anak-anak balita yang telanjang tersenyum dan melambaikan tangan. Menurut Dey, penduduk desa tersebut sebagian besar adalah petani yang menanam kacang mete, singkong, dan padi.
Dengan tulang-tulang yang bergetar hebat, kami tiba di Preah Khan. Tidak seperti Angkor Wat yang dikunjungi ribuan pengunjung setiap hari, hanya sedikit wisatawan yang berhasil sampai ke Preah Khan. Kami sesama wisatawan saling tersenyum saat berpapasan, seolah-olah kami mengetahui sebuah rahasia.
Dey menjelaskan bahwa kuil ini adalah kuil yang paling banyak dijarah oleh para penjelajah Prancis pada abad ke-19, kemudian oleh penduduk setempat pada abad ke-20.
Kuil ini bagai kebun binatang yang dipenuhi dengan ukiran angsa batu berkepala tiga, garuda (burung dewa), gajah, dan naga. Kami berhenti di patung Preah Chahtomukh setinggi 9,5 m yang telah dipugar, yang diukir dengan empat Buddha yang tersenyum menghadap ke setiap arah mata angin.
Pemandangan indah dari wajah-wajah yang tenang dan penuh teka-teki yang diukir di menara-menara batu besar membuat saya kagum, dan saya dapat mengerti mengapa sesama pelancong menyebutnya "Mona Lisa dari Asia Tenggara".
Makan siang adalah hidangan lezat berupa nasi dan ikan kering di gubuk beratap jerami di restoran setempat. "Jalur ini akan lebih baik jika ditempuh dengan sepeda motor trail," kata Dey, sebelum menjelaskan bahwa jalan dari Preah Khan ke desa Khvav hanya dapat dilalui dengan sepeda motor off-road dan gerobak sapi.
Untungnya, dia kebetulan mengenal dua orang pria yang dengan senang hati mengantar kami. Saya teringat dengan "efek ulang tahun", yang menyatakan bahwa, secara statistik, risiko kematian seseorang lebih tinggi ketika mendekati atau pada saat ulang tahun. Membonceng sepeda motor trail di sepanjang jalan berdebu, penuh gerobak sapi, dalam cuaca yang terik, mungkin tidak membantu peluang saya.
Pengemudi sepeda motor trail saya, Pak Cheat, tampak khawatir saat saya naik ke belakang sepeda motornya dan mencengkerem pegangan tangan erat-erat. Dey menyeringai nakal. Mesinnya menderu dan kami pun berangkat.
Meluncur melalui hutan, kami menghindari parit dan dahan pohon yang rendah. Kami melesat lancar melewati hutan, ladang, dan kadang ada traktor di jalan tanah liat yang padat sebelum berhenti di sisi jalan untuk menjelajahi reruntuhan yang jarang dikunjungi orang.
Jalan dari Preah Khan ke Beng Mealea dipenuhi dengan tempat peristirahatan yang disebut "rumah pemadam kebakaran" dan kuil rumah peristirahatan yang sedikit lebih besar. Para sejarawan masih berdebat mengenai fungsi tempat-tempat perhentian itu. Apakah fungsinya religius, sekuler atau keduanya? Karena aksesnya sulit, belum banyak riset dilakukan tentang tempat-tempat ini.
Kami berhenti di Sopheap Tbong yang mencerminkan desain semua rumah peristirahatan: dinding luar dengan gerbang besar mengarah ke ruang tengah yang diapit oleh dua galeri. Saya mengintip melalui jendela miring ke dalam ruangan sempit, membayangkan para pelancong dan peziarah kuno yang melepas lelah dari perjalanan panjang mereka melalui Kekaisaran Khmer yang luas.
Karena diyakini bahwa rata-rata pelancong Khmer dapat menempuh jarak 30 km per hari, rumah peristirahatan ini ditempatkan setiap 15 km agar para musafir bisa istirahat di siang dan sore hari.
Prasat Pram, rumah peristirahatan lainnya, sebagian besar berupa susunan batu-batu yang ditumbuhi tanaman rambat, tetapi jendela yang terpisah memperlihatkan pilar-pilar berukir yang berfungsi sebagai tirai jendela. Saya memang mengumpati suhu yang begitu panas, meski demikian saya bersyukur bahwa jalanan kering, karena melewati bekas roda gerobak sapi yang basah akan berbahaya.