Kebijakan serupa juga diterapkan saat Indonesia sempat dijajah oleh Inggris di bawah kepemimpinan Thomas Stamford Raffles. Dalam buku History of Java (1817), Raffles bahkan menyebut orang Jawa yang pergi haji sebagai “sok suci” dan berpotensi menghasut rakyat untuk memberontak. Dalam pandangan para penjajah, gelombang spiritualitas pasca haji sering kali menyulut semangat kemerdekaan.
Resmi Dibentuk: Gelar Haji sebagai Alat Kontrol Kolonial
Meski pemikiran itu sudah berkembang sejak awal abad ke-19, kebijakan resmi baru diterapkan pada tahun 1859. Pemerintah kolonial memberlakukan regulasi yang mewajibkan para haji untuk menjalani serangkaian ujian saat mereka kembali dari Makkah. Jika lolos, mereka diwajibkan menggunakan gelar “Haji” di depan nama mereka dan mengenakan pakaian khas seperti jubah ihram serta sorban putih.
Langkah ini bukan hanya simbolis, tapi juga merupakan strategi pengawasan. Dengan memberi gelar khusus, pemerintah kolonial bisa dengan mudah melacak dan mengidentifikasi siapa saja yang pernah berhaji. Saat terjadi pemberontakan, mereka tinggal menyasar para pemilik gelar ini, karena dianggap sebagai biang kerok perlawanan.
Sebagai contoh, Perang Jawa (1825–1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro dianggap sebagai salah satu pemberontakan besar yang dipicu oleh pengaruh ajaran Islam yang berkembang pasca haji. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menetapkan sistem deteksi dini melalui gelar haji agar bisa lebih cepat menindak para tokoh agama yang dianggap berbahaya.
Warisan Penjajahan yang Tak Hilang
Meskipun Indonesia telah merdeka sejak 1945, kebiasaan penyematan gelar haji tetap hidup dan bahkan semakin mengakar. Kebudayaan kolonial ini seakan telah melebur menjadi bagian dari identitas sosial masyarakat Indonesia. Sayangnya, sejarah kelam di balik gelar tersebut kerap dilupakan atau bahkan tidak diketahui.
Dien Madjid dalam bukunya Berhaji di Masa Kolonial (2008) menulis bahwa pengawasan terhadap eks-jamaah haji terus dilakukan bahkan hingga awal abad ke-20. Ketika pemikiran keislaman dari Makkah menyebar ke Indonesia, para eks-haji tetap dicurigai sebagai agen perubahan sosial yang membahayakan stabilitas kekuasaan kolonial.