Ironisnya, saat Indonesia memasuki era dekolonisasi dan kebebasan beragama semakin dijunjung tinggi, sapaan “Haji” tetap digunakan tanpa pemahaman akan latar belakang historisnya. Dalam konteks saat ini, gelar tersebut memang tidak lagi dipakai sebagai alat pengawasan, melainkan sebagai bentuk penghormatan. Namun, mengetahui asal-usulnya membuka wawasan kita tentang bagaimana budaya dan kebijakan kolonial bisa bertahan lintas generasi.
Gelar atau Identitas? Saatnya Memaknai Kembali
Kini, gelar “Haji” lebih sering dianggap sebagai pencapaian spiritual dan simbol status sosial. Banyak masyarakat yang merasa bangga disapa dengan gelar tersebut. Namun, penting bagi kita untuk menyadari bahwa kebiasaan ini lahir dari strategi kolonial, bukan bagian dari nilai syariah atau ajaran Islam.
Sebagai masyarakat yang semakin melek sejarah dan kritis terhadap warisan kolonial, ada baiknya kita mempertimbangkan kembali makna dan penggunaan gelar ini. Apakah masih relevan dalam konteks spiritualitas modern, atau hanya menjadi formalitas kosong yang diwariskan tanpa refleksi?
Yang pasti, mengenali akar historis dari budaya kita adalah langkah awal menuju pemahaman yang lebih dalam—baik tentang identitas kita sebagai umat Islam, maupun sebagai bangsa yang pernah dijajah dan kini tengah membangun kembali jati dirinya secara utuh.