Kondisi bisnis Uber di Amerika Serikat kian memprihatinkan. Perusahaan teknologi transportasi ini, yang dulu merajai layanan ride-hailing di berbagai negara, kini menghadapi tekanan besar di negeri asalnya. Meskipun sempat mencatat pertumbuhan pendapatan pada kuartal I tahun 2025, laju kenaikannya terus melambat pasca-pandemi. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi Uber di pasar domestik belum sepenuhnya teratasi.
Pada laporan keuangan terbarunya, Uber mencatat pendapatan sebesar US$11,53 miliar atau sekitar Rp189,9 triliun, meningkat 14% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Unit pemesanan naik sebesar 15%, sedangkan lini pengiriman mencatatkan pertumbuhan 18%. Angka ini tampak menjanjikan di permukaan, namun tidak cukup untuk menutupi perlambatan bisnis utama mereka di AS.
Meski begitu, perusahaan menyampaikan optimisme terhadap performa kuartal kedua tahun ini. Manajemen Uber memperkirakan pemesanan dan laba pada Q2 akan melampaui ekspektasi Wall Street. Prediksi ini sebagian besar didasarkan pada ekspansi agresif mereka di pasar internasional serta pertumbuhan lini pengiriman makanan dan bahan kebutuhan pokok, yang kini menjadi tulang punggung baru perusahaan.
Dalam laporan eksklusif yang dikutip dari Reuters pada Kamis (8/5/2025), CFO Uber, Prashanth Mahendra-Rajah, mengungkapkan bahwa perjalanan internasional menjadi pendorong utama pertumbuhan, sementara permintaan domestik justru mengalami penurunan. “Kami melihat peningkatan signifikan dari perjalanan internasional. Penurunan hanya terjadi pada jumlah perjalanan masuk ke Amerika Serikat,” ujarnya.
Kondisi ini menjelaskan strategi diversifikasi Uber yang kini mulai menunjukkan hasil. Di tengah stagnasi pasar AS, perusahaan gencar memperluas cakupan bisnisnya di luar negeri. Salah satu langkah strategis Uber adalah mengakuisisi 85% saham perusahaan pengiriman bernama Trendyl Go, sebuah platform pengiriman makanan dan kebutuhan rumah tangga. Akuisisi ini dilakukan dengan nilai fantastis, yakni US$700 juta atau sekitar Rp11,5 triliun.