Kebutuhan akan listrik yang tinggi dari data center kecerdasan buatan (AI) telah mendorong munculnya banyak startup di bidang geothermal. Dua raksasa teknologi, Meta (induk usaha Facebook, Instagram, dan WhatsApp) dan Alphabet (induk usaha Google), telah melakukan kerja sama dengan startup yang memproduksi energi geothermal guna memenuhi kebutuhan listrik data center mereka.
Selain itu, operator data center lainnya juga berlomba-lomba dalam memperebutkan pasokan energi bersih yang diperlukan untuk mendukung proses komputasi AI. Hal ini mengindikasikan bahwa geothermal menjadi semakin diakui sebagai salah satu alternatif untuk memproduksi listrik bersih secara cepat, efisien, dan berkelanjutan.
Teknologi geothermal telah dianggap sebagai cara yang lebih cepat untuk memproduksi listrik bebas karbon dibandingkan nuklir, serta tidak memiliki kekurangan yang dimiliki oleh sumber energi lainnya seperti energi angin dan surya. Namun, startup dalam bidang ini masih dihadapkan pada biaya awal yang tinggi, terutama untuk pengeboran serta perizinan yang memerlukan waktu yang cukup panjang.
Namun demikian, ada optimisme yang muncul terkait potensi geothermal. Investasi ke proyek panas bumi saat ini terus mengalami pertumbuhan, walaupun masih terbatas. Pada tahun 2020, analis memperkirakan bahwa hanya ada pembiayaan sekitar US$ 700 juta untuk proyek geothermal.
Sebaliknya, produsen shale oil, seperti Chevron, Diamondback Energy, dan Exxon Mobil, justru mendorong penggunaan gas alam sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang bebas emisi. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat keraguan dan konservatisme di kalangan industri energi terkait transisi ke sumber energi berteknologi tinggi seperti geothermal.