Hal ini jelas menunjukkan adanya perbedaan budaya yang mendasar terhadap perayaan Nyepi di Bali. Semua ini berakar dari sejarah perjalanan Desa Tenganan yang berbeda dibandingkan desa lainnya di Bali. Pada abad ke-14, ketika Kerajaan Bali berusaha memperkuat dominasi mereka, ajaran-ajaran Hindu mulai disebarkan kepada banyak komunitas. Ajaran tersebut dulunya sangat memengaruhi sistem sosial di berbagai desa, namun tidak bagi Desa Tenganan yang terletak di daerah pegunungan dan cukup sulit diakses.
Desa Tenganan memiliki seperangkat ajaran dan kepercayaan yang kental dengan tradisi lokal. Mereka menolak beberapa elemen dari ajaran dominan yang dibawa oleh kerajaan, termasuk aspek-aspek tertentu dari perayaan Nyepi dan Ngaben. Ini membuat mereka tetap setia pada ritual dan tradisi yang telah menjadi bagian dari identitas mereka selama berabad-abad.
Masyarakat Desa Tenganan sebenarnya sangat menghargai toleransi. Saat umat Hindu lain merayakan Nyepi, mereka berusaha untuk tidak beraktivitas demi menghormati sesama umat Hindu. Ini menunjukkan bahwa meskipun mereka tidak merayakan dengan cara yang sama, ada rasa saling menghormati yang tinggi di antara berbagai komunitas.
Perbedaan-perbedaan ini menjadi bukti bahwa Bali, meskipun dikenal lewat keindahan alam dan tradisi budayanya yang kaya, juga memiliki keragaman dalam praktik keagamaan. Masyarakat desa-desa yang berbeda telah menciptakan identitas yang unik, tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap tradisi dan kepercayaan yang ada.
Melalui konteks sejarah yang kaya, kita dapat melihat betapa eratnya keterkaitan antara budaya setempat dan ajaran agama. Desa Tenganan hanyalah salah satu contoh di mana tradisi leluhur dipertahankan meskipun ada pengaruh dari arus modernisasi dan ajaran yang lebih dominan.