Hijrah atau migrasi dalam konteks spiritual selalu identik dengan perubahan ke arah yang lebih baik. Namun, konsep hijrah kini tidak hanya diartikan dari sisi spiritual atau sosial, tapi juga mencakup aspek ekologis. Hijrah Ekologis muncul sebagai respons terhadap krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, mengajak setiap individu, termasuk umat Muslim, untuk beralih dari gaya hidup konsumtif ke gaya hidup yang lebih konservatif dan berkelanjutan.
Gaya hidup hijrah bukan hanya sekadar soal mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga bagaimana kita menjalani hidup di tengah tantangan lingkungan yang semakin kompleks. Banyak individu yang mulai menyadari perlunya menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu gerakan yang berkembang dalam komunitas Muslim adalah "muslim hijau." Muslim hijau adalah sebutan bagi individu atau kelompok yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan kesadaran lingkungan. Mereka berupaya untuk hidup harmonis dengan alam, memahami bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah.
Hijrah konsumsi menjadi fokus penting dalam konteks ini. Konsep ini mengajak kita untuk lebih memperhatikan pola konsumsi kita, yaitu bagaimana kita membeli, menggunakan, dan membuang barang-barang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat yang konsumtif, banyak dari kita yang cenderung mengambil banyak tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Misalnya, penggunaan plastik sekali pakai, makanan cepat saji yang kemasan berlebihan, hingga barang-barang elektronik yang cepat usang dan dibuang sembarangan. Semua ini berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah.