Tampang

Tuan Guru yang Pemaaf dan Sakitnya Jadi Pribumi

22 Apr 2017 21:18 wib. 9.143
0 0
jansen sitidaon

Demi Hak Asasi Manusia, persatuan dan kesatuan bangsa, dilarang memakai dan mengucapkan: "non pribumi", kata perintah Inpres 26 ini. Namun faktanya, dikomunitas warga keturunan, mereka juga mengucapkan hal yang sama, kata "pribumi" untuk sebuah ujaran yang negatif. Apakah fakta ini bukan menjadi haram bagi mayoritas. Halal bagi minoritas?

***
Bagi saya pribadi. Keras dan menyakitkan sekali sebenarnya kata-kata yang diucapkannya Steven ini. Saya merasakan kata-kata ini sama kerasnya dengan kalimat larangan dimasa kolonial dulu, yang biasa ditulis didepan kolam renang, societat, gedung pertemuan, dll yang berbunyi: “verboden voor honden en inlander,” yang artinya “dilarang masuk bagi anjing dan pribumi.”

Kalau pada masa kolonial, pribumi disamakan dengan anjing. Dimasa ini, dikomunitasnya Steven, ternyata (kita) pribumi diturunkan lagi derajatnya, disamakan dengan Tiko. Tikus Kotor. Tikus saja sudah menjijikkan. Apalagi tikus kotor. Walaupun kedua jenis binatang ini sama buruknya. Karena manusia memang tidak layak dipersamakan dengan binatang apapun. Namun dibanding tikus. Anjing, istilah yang dipakai kolonial, menurut saya masih jauh lebih baik. Karena anjing masih dipelihara dan diberi makan oleh tuannya. Kalau tikus, apalagi ini jenisnya tikus kotor, malah sebaliknya ingin diburu untuk dimusnahkan. Dimasa merdeka ini. Begitu buruk ternyata nasib pribumi di negerinya sendiri. Diburu ingin dimusnahkan. Dilucuti ingin dilemahkan. Dimiskinkan untuk dinista. 
 
Layaklah kemudian. Karena ulah Steven ini masyarakat yang merasa dirinya "pribumi", menjadi: marah! Karena, membaca disebut tikus kotor saja sudah membuat emosi. Apalagi kalau mendengarnya langsung diucapkan ditelinga. Seperti yang dialami Tuan Guru. 

Disinilah saya melihat luar biasanya seorang Tuan Guru ini. Ditangannya ada kekuasaan, karena dia Gubernur aktif. Sekaligus. Ditangannya juga ada ummat yang siap digerakkan, karena dia Ketua Tanfidzyah NW. Namun sikap yang diambilnya "malah" memaafkan Steven. Bahkan, dihari-hari kedepan ini, demi kebaikan Steven dan warga keturunan lainnya. Malah Tuan Guru ini kembali yang akan bertambah pekerjaannya, untuk meredam kemarahan masyarakat di NTB sana (dan di Indonesia ini), yang merasa ulama dan umaranya telah dilecehkan. 

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Aturan Pemilu Perlu Direvisi?