Tampang

Tuan Guru yang Pemaaf dan Sakitnya Jadi Pribumi

22 Apr 2017 21:18 wib. 9.878
0 0
jansen sitidaon

"A politician is a person with whose politics you don't agree; if you agree with him he's a statesman".

Terjemahan bebasnya:

"Politikus adalah orang yang dengannya kita tak bersetuju. Tatkala kita bersetuju, dia adalah negarawan".

Melalui persoalan ini kita dapat melihat kebesaran hati seorang Tuan Guru. Sebagai manusia yang par excellent, cum primus inter pares untuk ukuran seorang pribumi, karena dalam dirinya semua ada: ilmu yang tinggi, jabatan di pemerintah, kekuasaan, ketua partai politik dan juga ummat yang siap diperintah, harusnya Tuan Guru ini bisa melakukan tindakan apapun yang dia mau untuk membalas cacian yang dia terima. Namun dia memilih jalan untuk memaafkan Steven.

Bahkan, dimasa hampir 9 tahun dia memerintah sebagai Gubernur NTB, kita juga tidak pernah mendengar di NTB pernah terjadi kerusuhan rasial. Ditangannya, kerukunan beragama dan kehidupan antar etnis di NTB berjalan sangat baik, sangat harmonis. Bahkan "kaumnya" Steven ini juga dapat hidup dan menjalankan usaha tanpa gangguan.

Terimakasih saya pikir. Melalui persoalan ini, kita bisa mendapatkan dan semakin lebih mengenal lagi satu sosok yang mungkin saja kedepannya akan memimpin bangsa ini. 

***
Kasus Steven ini harusnya dapat menjadi bahan reflektif bagi warga keturunan untuk tidak lagi mengulangi hal yang sama. Kedepannya mereka harus dapat lebih menjaga mulutnya. Kalau tidak nyaman disebut nonpri, ya jangan juga menyebut "pribumi" dalam konotasi negatif, dilingkungan keseharian mereka. Apalagi menambahinya dengan persamaan Tiko, Tikus Kotor yang sangat menjijikkan. Karena kalau ini yang terjadi, maka jangan salahkan kalau semua orang yang merasa dirinya Pribumi, akan merasa ikut terserang.

Apalagi ditengah jurang keadaan ekonomi saat ini. Perilaku sejenis yang dilakukan Steven ini, berpotensi mengaduk kembali perasaan kebencian warga pribumi terhadap golongan nonpri. Kebencian rasial yang dilontarkan ini juga berpotensi akan dibalas balik dengan tuduhan berbau rasialis juga. Karena terkait persoalan "pri dan nonpri" ini. Di permukaan karena aturan hukum, terlihat adem. Namun dibawah, bara api sesungguhnya tidak pernah benar-benar padam. 

Demi kebaikan bangsa ini kedepannya, walaupun Tuan Guru telah memaafkan. Karena pidana tanggung jawabnya pribadi. Bukan kelompok. Menurut saya harus ada juga sanksi yang dijatuhkan oleh "hukum" kepada Steven ini. 

Pasal 4 huruf b angka 2 jo. Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, menurut saya sangat tepat dan telah memenuhi unsur untuk digunakan di perkara ini. Selengkap nya bunyi Pasal ini adalah: 

"Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, dan mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah".

Selain karena memang unsur pidananya telah terpenuhi. Sanksi ini menurut saya menjadi penting untuk dijatuhkan. Demi menjaga dan mengingatkan agar "steven-steven" lain yang masih banyak berkeliaran diluar sana, yang karena kelimpahan ekonomi yang dimilikinya, tidak akan lagi melakukan hal yang sama, menganggap remeh dan nista orang-orang pribumi. Apalagi pribumi yang bekerja untuk mereka. Baik dirumah-rumahnya. Maupun ditempat usaha yang mereka kelola.

Karena harus diakui. Walaupun tidak berkaitan langsung. Dengan sistem politik yang hari mengizinkan boleh berkuasanya warga keturunan. Plus ditambah lagi kekuasaan besar mereka dibidang ekonomi. Kedepannya, "steven-steven" baru malah berpotensi akan lebih sering muncul. 

Itulah maka saya berpikir. Kalau dahulu UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dibuat untuk melindungi warga "non pri". Sekarang malah terbalik. UU ini berfungsi untuk melindungi warga Pribumi. Yang ditempat kerjanya karena dimiliki oleh pengusaha "non pri" misalnya, mungkin saja dicaci-maki dengan merendahkan rasnya. Sosok yang par excellent seperti Tuan Guru saja bisa mengalaminya. Apa lagi saudara-saudara kita yang bekerja menjadi pembantu dirumah-rumah mereka.

Kasus Steven ini juga sekaligus otokritik bagi diri kita sendiri. Para "politisi pribumi" dan "birokrat pribumi" yang hari ini memegang amanah disetiap level pemerintahan. Dari pusat sampai daerah. Kerjakanlah amanah tersebut dengan benar. Bukan malah ditanganmu, negeri ini tambah rusak. Sehingga rakyat muak, dan akhirnya berpikir, non pri mungkin lebih baik (kita coba sekali-kali) untuk memimpin negeri ini. Karena perilaku kitalah kadang celah itu sendiri terbuka.

Seperti penyebutan dimasa kolonial, "in-land" (ers), didalam, kepada Pribumi. Mari jadikan dimasa kemerdekaan ini, kita betul-betul "in-land", betul-betul didalam sebagai pemilik atas Negeri ini. Karena pemilik pasti menjaga dengan baik barang miliknya. Mari kita jaga dan rawat Negeri ini. Jangan sampai terulang kembali kita tidak berkuasa atas negeri kita sendiri, seperti dimasa kolonial dulu.

Jakarta, 17 April 2017.

<123>

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Indonesia Menuju Indonesia Emas atau Cemas? Dengan program pendidikan rakyat seperti sekarang.