Tampang

Tuan Guru yang Pemaaf dan Sakitnya Jadi Pribumi

22 Apr 2017 21:18 wib. 9.156
0 0
jansen sitidaon

Fakta diatas. Tanpa "dibumbuipun", rasanya telah berkata banyak. Dari anak muda seperti Steven. Sampai level orang tua (nya) seperti Soekanto Tanoto, yang jelas-jelas telah "dikayakan" oleh bumi Indonesia ini. Ternyata, itu semuapun tidak cukup untuk menjadikan mereka merasa Indonesia. Padahal dipikir-dipikir, kurang baik apalagi Indonesia ini? Semuanya telah diberikan. Bahkan di negeri ini, dari golongan "steven" inilah mayoritas orang terkayanya berasal. Merekalah penikmat utama kekayaan bangsa ini. Terus, apalagi yang kurang?  Apakah dengan kaya ini tidak cukup? Ataukah mereka mau berkuasa juga di negeri ini, barulah didalam diri mereka menjadi ada rasa memiki Indonesia.

Kalau ini yang terjadi, pikir saya. Bukan tambah dihargai. Namun tambah "mampuslah" pribumi (memakai istilah yang dipakai Steven sendiri) di negeri ini. Di negerinya sendiri. Betul-betul pribumi akan kembali menjadi "inlander", seperti dimasa sistem segregasi (pemisahan) rasial dimasa kolonial dulu. Ditempatkan dilevel manusia, kelas paling bawah, yang tidak berkuasa atas tanah, bumi dan bahkan dirinya sendiri. Kalau dimasa kolonial dulu kelasnya berada dibawah ras "vreemde oosterlingen" (Timur Asing). Masak, dimasa kemerdekaan ini kita mengizinkan lagi hal tersebut terjadi? 

***
Kembali kepersolan Steven dan Tanoto diatas. Kalau betul, menghargai Indonesia saja mereka tidak mau. Maka tidak tepatlah pikir saya, dahulu dikeluarkan Keppres No. 56 Tahun 1996 jo. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999 yang menginstruksikan pengapusan tidak berlakunya lagi SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia) bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI. 

Karena, melihat ucapan Steven dan Tanoto diatas, boleh saja mereka lahir di Indonesia. Namun ternyata belum tentu mereka merasa Indonesia. Untuk itulah mereka seharusnya (tetap) dibebankan kembali mengurus SBKRI, untuk menguji ke Indonesiannya. Tidak serta merta menjadi Indonesia seperti aturan saat ini. Yang ternyata lebih banyak melahirkan luka. Karena banyak diantara warga keturunan ini ternyata tidak merasa dirinya sebagai orang Indonesia. Karena aturanlah, secara serta merta mereka menjadi orang Indonesia. Bukan karena keinginan mereka sendiri menjadi warga negara Indonesia. 

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Aturan Pemilu Perlu Direvisi?