Tampang

Tuan Guru yang Pemaaf dan Sakitnya Jadi Pribumi

22 Apr 2017 21:18 wib. 9.877
0 0
jansen sitidaon

Kalau ini yang terjadi, pikir saya. Bukan tambah dihargai. Namun tambah "mampuslah" pribumi (memakai istilah yang dipakai Steven sendiri) di negeri ini. Di negerinya sendiri. Betul-betul pribumi akan kembali menjadi "inlander", seperti dimasa sistem segregasi (pemisahan) rasial dimasa kolonial dulu. Ditempatkan dilevel manusia, kelas paling bawah, yang tidak berkuasa atas tanah, bumi dan bahkan dirinya sendiri. Kalau dimasa kolonial dulu kelasnya berada dibawah ras "vreemde oosterlingen" (Timur Asing). Masak, dimasa kemerdekaan ini kita mengizinkan lagi hal tersebut terjadi? 

***
Kembali kepersolan Steven dan Tanoto diatas. Kalau betul, menghargai Indonesia saja mereka tidak mau. Maka tidak tepatlah pikir saya, dahulu dikeluarkan Keppres No. 56 Tahun 1996 jo. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999 yang menginstruksikan pengapusan tidak berlakunya lagi SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia) bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI. 

Karena, melihat ucapan Steven dan Tanoto diatas, boleh saja mereka lahir di Indonesia. Namun ternyata belum tentu mereka merasa Indonesia. Untuk itulah mereka seharusnya (tetap) dibebankan kembali mengurus SBKRI, untuk menguji ke Indonesiannya. Tidak serta merta menjadi Indonesia seperti aturan saat ini. Yang ternyata lebih banyak melahirkan luka. Karena banyak diantara warga keturunan ini ternyata tidak merasa dirinya sebagai orang Indonesia. Karena aturanlah, secara serta merta mereka menjadi orang Indonesia. Bukan karena keinginan mereka sendiri menjadi warga negara Indonesia. 

Kalau pemilu yang meminta pendapat ratusan juta orang saja, "sudah rutin" dan sukses kita lakukan. Melalui tulisan ini, saya mengajukan usul. Baiknya jutaan warga keturunan yang hari ini ada di Indonesia, disensus dan ditanyakan ulang lagi masihkah ingin jadi warganegara Indonesia atau tidak. Untuk menghindari, lahir dan berulangnya kembali "steven-steven" baru dikemudian hari. Yang sesungguhnya "suara dalamnya", dia tidak merasa orang Indonesia. Dan dia menolak ke-Indonesiaannya. 

Lebih baik untuk orang-orang sejenis ini dibukakan kesempatan baginya untuk menentukan ulang, memilih tetap menjadi orang Indonesia atau keluar menjadi warganegara lain. Karena selain buat Indonesia sendiri, orang sejenis ini tidak berguna. Akibat ulahnya, malah kasihan warga keturunan lain akan ikut menjadi korban. Padahal bisa saja yang ikut terkena imbasnya ini, betul-betul telah "menjadi" Indonesia, dan mencintai Indonesia. Inilah menurut saya solusi yang tepat demi kebaikan bersama. Jangan sampai ada lagi orang Indonesia, yang tidak menghargai ke Indonesiaannya. 

Khusus untuk Steven dan Soekanto Tanoto diatas. Menurut saya, karena faktanya sudah jelas. Sebaiknya Steven dan Tanoto ini melepaskan atau dilepaskan saja statusnya secara resmi oleh Negara sebagai Warga Negara Indonesia. Karena dengan kejadian yang mereka lakukan, kelayakan mereka menjadi warga negara Indonesia sesungguhnya telah hilang. Atau. Kalau masih ingin menjadi warga negara Indonesia. Diuji lagi ke Indonesiannya. Karena "jangan-jangan" lagu Indonesia Raya pun mereka tidak hafal. Padahal jelas-jelas ada kata Indonesia didalamnya, yang telah mereka "nista". 

Selain Keppres No. 56/96 dan Inpres No. 4/99 diatas. Melihat ucapan Steven kepada Tuan Guru ini. Saya juga merasa Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Pelarangan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi, juga menjadi tidak relevan lagi diberlakukan. Karena kelompok warga keturunan yang selama ini diperjuangkan haknya agar tidak disebut "non pri". Ternyata, minimal contohnya melalui Steven ini, juga menggunakan kata "pribumi" dalam kesehariannya untuk sebuah ujaran yang berkonotasi negatif dan kebencian. 

Demi Hak Asasi Manusia, persatuan dan kesatuan bangsa, dilarang memakai dan mengucapkan: "non pribumi", kata perintah Inpres 26 ini. Namun faktanya, dikomunitas warga keturunan, mereka juga mengucapkan hal yang sama, kata "pribumi" untuk sebuah ujaran yang negatif. Apakah fakta ini bukan menjadi haram bagi mayoritas. Halal bagi minoritas?

***
Bagi saya pribadi. Keras dan menyakitkan sekali sebenarnya kata-kata yang diucapkannya Steven ini. Saya merasakan kata-kata ini sama kerasnya dengan kalimat larangan dimasa kolonial dulu, yang biasa ditulis didepan kolam renang, societat, gedung pertemuan, dll yang berbunyi: “verboden voor honden en inlander,” yang artinya “dilarang masuk bagi anjing dan pribumi.”

Kalau pada masa kolonial, pribumi disamakan dengan anjing. Dimasa ini, dikomunitasnya Steven, ternyata (kita) pribumi diturunkan lagi derajatnya, disamakan dengan Tiko. Tikus Kotor. Tikus saja sudah menjijikkan. Apalagi tikus kotor. Walaupun kedua jenis binatang ini sama buruknya. Karena manusia memang tidak layak dipersamakan dengan binatang apapun. Namun dibanding tikus. Anjing, istilah yang dipakai kolonial, menurut saya masih jauh lebih baik. Karena anjing masih dipelihara dan diberi makan oleh tuannya. Kalau tikus, apalagi ini jenisnya tikus kotor, malah sebaliknya ingin diburu untuk dimusnahkan. Dimasa merdeka ini. Begitu buruk ternyata nasib pribumi di negerinya sendiri. Diburu ingin dimusnahkan. Dilucuti ingin dilemahkan. Dimiskinkan untuk dinista. 
 
Layaklah kemudian. Karena ulah Steven ini masyarakat yang merasa dirinya "pribumi", menjadi: marah! Karena, membaca disebut tikus kotor saja sudah membuat emosi. Apalagi kalau mendengarnya langsung diucapkan ditelinga. Seperti yang dialami Tuan Guru. 

Disinilah saya melihat luar biasanya seorang Tuan Guru ini. Ditangannya ada kekuasaan, karena dia Gubernur aktif. Sekaligus. Ditangannya juga ada ummat yang siap digerakkan, karena dia Ketua Tanfidzyah NW. Namun sikap yang diambilnya "malah" memaafkan Steven. Bahkan, dihari-hari kedepan ini, demi kebaikan Steven dan warga keturunan lainnya. Malah Tuan Guru ini kembali yang akan bertambah pekerjaannya, untuk meredam kemarahan masyarakat di NTB sana (dan di Indonesia ini), yang merasa ulama dan umaranya telah dilecehkan. 

Beruntunglah Steven ini bertemu seorang yang sudah tinggi ilmunya, tinggi pula maafnya seperti Tuan Guru, pikir saya. Kalau tadi Steven ini bertemu jenis manusia "darah panas" yang ditangannya juga ada kekuasaan plus ummat, bisa binasa ini Steven. Ditengah kepedihan ini ternyata juga lahir berkah bagi Indonesia. Karena bersama kasus ini, saya melihat telah lahir sosok Negarawan baru melalui sosok Tuan Guru Zainul Madji ini.

Dari apa yang dilakukan Tuan Guru dan kaitannya dengan Negarawan ini. Saya teringat ucapan David Llyold George, Perdana Menteri Britania Raya yang dianggap sebagai pendiri dan peletak negara kesejahteraan modern, yang melalui pernyataannya memberi sebuah batasan jelas siapa itu Negarawan, melalui ungkapan: 

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

Nugget Pisang
0 Suka, 0 Komentar, 2 Jun 2024

POLLING

Apakah Indonesia Menuju Indonesia Emas atau Cemas? Dengan program pendidikan rakyat seperti sekarang.