Selain itu, masalah politik dalam negeri semakin memperburuk krisis ini. Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah dan kurangnya kepercayaan dalam pengelolaan ekonomi menyebabkan kerusuhan sosial yang meluas. Dalam beberapa bulan, protes besar-besaran meletus, menuntut pengunduran diri presiden dan kabinetnya. Situasi itu mendorong terciptanya ketidakstabilan politik yang semakin mengganggu upaya pemulihan ekonomi.
Salah satu indikator paling jelas dari krisis di Sri Lanka adalah kelangkaan bahan pokok seperti beras, gula, dan minyak goreng. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari, dan harga barang-barang naik dengan sangat pesat. Situasi ini menciptakan kondisi darurat yang sangat parah, di mana banyak keluarga terpaksa memilih antara makan atau memenuhi kebutuhan lainnya. Fenomena ini jelas mencerminkan bahwa ekonomi runtuh bukan hanya sekadar istilah, tetapi adalah kenyataan pahit yang dialami oleh rakyat Sri Lanka.
Dalam konteks yang lebih luas, krisis di Sri Lanka juga mencerminkan bagaimana kesalahan dalam kebijakan ekonomi dapat memiliki konsekuensi yang luas dan berkelanjutan. Negara yang semula memiliki potensi besar untuk tumbuh dan berkembang menjadi salah satu destinasi yang ramai, kini terpuruk dalam krisis yang mendalam. Penanganan yang lambat dan kurang ketelitian dalam memperbaiki situasi ini dapat memperpanjang penderitaan rakyat.