Sebab, dalam sejumlah narasi kampanyenya, barisan pendukung Ahok mengembangkan stigma buruk terhadap penentang Ahok. Persoalannya, narasi tersebut berdampak pada memburuknya hubungan antara etnis Tionghoa dengan non-Tionghoa.
Melihat reaksi Jokowi, sepertinya presiden berupaya mendinginkan situasi ini. Hanya saja, sikap Jokowi ini tidak menunjukkan tindakan kongkret pemerintah dalam memecahkan persoalan terkait patung.
Sementara, sikap pemerintah yang memandang persoalan patung dari isu toleransi atau radikalisme justru meningkatkan konflik antara kelompok penentang patung dengan pendukung patung.
Sayangnya, bukan hanya pemerintah pusat, sejumlah kelompok masyarakat dan ormas pun turut mendukung pembangunan patung Panglima Kongco. Dan, sebagaimana pemerintah pusat, kelompok-kelompok pendukung patung Dewa Perang ini pun melihat kasus ini hanya dari kacamata keagamaan.
Lebih parah lagi, semua partai politik pun lebih memilih untuk diam atau mendukung keberadaan patung Dewa Perang.
Sikap pemerintah, ormas, parpol, dan lain-lain ini sama saja dengan memperkuat stigma buruk terhadap kelompok tertentu (penentang patung), sekaligus menggambarkan kelompok lainnya (pendukung patung) dengan stigma positif.
Jika cara pandang ini dibiarkan, justru akan menyulut berbagai persoalan. Di antaranya adanya ketidakadilan. Bagaimana mungkin pembangunan yang tidak mengantongi izin atau dengan kata lain ilegal mendapat dukungan bahkan pembelaan yang sangat begitu luar biasa.
Dari sisi ini aja, persoalan patung ini akan menjalar liar ke arah yang sulit diprediksikan. Karena persoalan ini akan merembet pada sengketa pembangunan rumah ibadah lain yang tengah terjadi di sejumlah daerah.
Apakah Jokowi dan jajarannya telah memikirkan persoalan patung Dewa Perang dengan panjang kali lebar sehingga dapat melihat persoalan ini secara menyeluruh?
Jika belum. Ada baiknya untuk tidak mengomentarinya.