“Rencananya kita mau buat website baru,” kata seorang Kompasianer lewat sambungan seluler seminggu yang lalu.
Kompasianer pendukung Jokowi sejak 2012 dan terlibat dalam berbagai perang opini itu kemudian mencertakan rencana yang dibuatnya bersama relawan Jokowi lainnya saat menghadiri resepsi pernikahan Bobby-Kahiyang di Solo pada November 2017.
Katanya, tim kampanye pemenangan Jokowi untuk Pilpres 2019 akan kembali menggalang penulis-penulis opini yang dulu terlibat secara aktif di Kompasiana.
Sayangnya, kondisi Kompasiana sudah tidak sekondusif seperti sebelum pertengahan 2015. Hal ini dikarenakan format baru yang dipakai Kompasiana saat ini tidak memisahkan artikel yang berkualitas dengan artikel yang asal posting. Sementara deret artikel terbaru hanya 20 artikel. Sehingga artikel yang masuk akan cepat hilang dari peredaran.
Sebenarnya, pendukung Jokowi memiliki sejumlah situs keroyokan. Seword, misalnya. Sayangnya, Seword yang lahir setelah Kompasiana menggunakan format barunya justru berpotensi menggerus elektabiltas Jokowi. Seword bahkan dikenal sebagai situs hoax yang dibina Istana.
Pertanyaannya, kenapa pendukung Jokowi masih membutuhkan website khusus artikel opini? Padahal, banyak media mainstream yang cenderung, bahkan terang-terangan, memihak pada Jokowi.
Media hanya menyampaikan peristiwa yang telah terjadi. Sebagai “alat pemenangan pemilu” media hanya mengambil sudut yang menguntungkan jagoannya. Sebaliknya, media pun memilih sudut yang merugkan lawan dari jagoannya. Untuk itu media memiliki banyak strategi.
Dalam pemberitaan tentang mahar yang diceritakan oleh La Nyalla, misalnya. Media mengekspos habis-habisan cerita La Nyalla yang mengaku diperas dan dimaki-maki oleh Prabowo Subianto. Tetapi, begitu La Nyalla membatah pengakuannya, media pun redup. Bahkan ada media yang sama sekali tidak memberitakannya.
Namun demikian, sekalipun sudah memainkan perannya sebagai alat propaganda, namun media masih memiliki keterbatasan dalam pembentukan opini.
Keterbatasan media itulah yang kemudian ditutupi oleh artikel opini. Para penulis opini kemudian menggiring pandangan masyarakat untuk melihat Prabowo sebagai sosok tukang paak dan pemarah.
Pada 2013, konon menurut Fahri Hamzah, ada sekitar 500 ribu kader PKS yang diturunkan di media sosial untuk “mengawal” kasus korupsi kuota impor sapi yang dilakukan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Para kader PKS itu membanjiri semua jejaring sosial, termasuk menulis dan berkomentar di Kompasiana. Bahkan, slah seorang kadernya menyerukan untuk menayangkan 1 juta artikel dalam 1 bulan.