Harga minyak diprediksi akan terus meroket seiring dengan berlanjutnya konflik antara Israel dan Iran. Meskipun ketegangan di Timur Tengah telah berlangsung lama, situasi saat ini tampak semakin mengkhawatirkan. Serangan balasan antara kedua negara semakin intensif, dan hal ini memberi dampak langsung pada stabilitas pasar minyak global. Di tengah rabuk-rabuk ini, kekhawatiran tentang potensi gangguan terhadap jalur pasokan energi di wilayah tersebut menjadi semakin nyata.
Salah satu titik yang perlu dicermati adalah Selat Hormuz, di mana pemasok minyak terbesar dunia, termasuk Iran, mengandalkan rute ini untuk distribusi energi. Sekitar 20% dari total pasokan minyak dunia melalui selat ini. Dengan berlanjutnya ketegangan yang mungkin berujung pada konflik berskala lebih besar, ancaman terhadap keamanan jalur ini semakin meningkat. Jika terjadi gangguan, harga minyak diprediksi akan melambung tinggi, dapat menembus angka US$ 100 per barel.
Kenaikan harga minyak akan berdampak langsung pada harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tingkat lokal, termasuk Indonesia. Harga BBM yang meningkat akan menambah beban bagi masyarakat, terutama di saat pemulihan ekonomi pascapandemi masih berjalan. Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat bergantung pada impor minyak, setiap lonjakan harga akan berimplikasi pada inflasi dan daya beli masyarakat.